Rabu, 10 Januari 2018

Istri Keempat Mustajab

Sebentar lagi tiba saatnya peringatan setahun wafatnya istri ketiga Mustajab, atau yang biasa dipanggil dengan Pak Mus. Lelaki tua yang usianya sudah berkepala tujuh ini jadi terkenang lagi empat tahun masa pernikahan terakhirnya. Kendati sekejap belaka, namun dirasakannya sejumlah sukacita beserta kebanggaan yang tiada tara. Bayangkan saja, seorang lanjut usia sepertinya mampu menikahi seorang perempuan berusia empat puluhan dan itulah pernikahannya untuk kali ketiganya. Jika bisa menikah untuk kali keempatnya, ingin dimilikinya lagi seorang perempuan seperti istri ketiganya itu. Mendiang istri terakhirnya adalah seseorang yang paling sanggup melayaninya, membuatnya bahagia, dan -menurut pendapat Pak Mus sendiri- sangat tergantung kepadanya. Jadi, di masa tuanya ia merasa masih sangat perkasa sebagai seorang lelaki sempurna.

Dua kali sudah Pak Mus berusaha mendekati perempuan yang sudi diperistrinya lagi, namun keduanya telah menolaknya mentah-mentah. Mungkin ia sedikit berlebihan juga, dua orang itu masih demikian muda dan sebaya dengan anak bungsunya. Padahal syarat yang sudah ditentukannya sendiri, isteri barunya itu setidaknya tak jauh beda usianya dengan mendiang istri ketiganya, yang pasti di bawah lima puluh tahunlah. Namun memang begitulah lelaki jika sudah menuruti apa kata birahinya, tak terkecuali Pak Mus yang telah lanjut usianya.

Dengan pantang menyerah Pak Mus terus berusaha mewujudkan obsesinya untuk bisa menikah lagi. Sungguh berat rasanya hidup hanya bersama anak-anak dan sejumlah cucu yang sudah seabrek banyaknya itu. Pak Atok, salah satu teman baiknya pernah menasihatinya.
“Pak Mus, sampeyan itu sudah sepuh lho. Mbok ya tinggal hidup tenang sama anak cucu dan terus banyak mendekatkan diri pada Tuhan to, Pak. Apa lagi sih, yang belum keturutan sepanjang hidup sampeyan yang sudah tujuh puluh tahun lebih itu?”
“Pak Atok, aku itu susah banget rasanya ndak punya istri lagi. Aku itu masih perlu pendamping hidup, yang bisa melayaniku sepenuhnya di masa tuaku ini. Lagi pula, aku masih sanggup bikin perempuan bahagia,” tukas Pak Mus bersemangat. Pak Atok hanya bisa tersenyum simpul sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ternyata usia tua tak membuat Pak Mus kehilangan selera untuk terus menikmati kehidupan duniawinya. Mungkin dipikirnya, masih bakal panjang juga usianya.

***
Pak Mus melanjutkan usahanya, melirik kiri kanan, bertanya kesana kemari, ada tidak kiranya perempuan yang mau dijadikan istrinya. Akhirnya sebuah titik terang datang padanya. Nunuk, anak adik sepupunya menawarkan pakdenya seorang perempuan yang bersedia segera menikah. Namanya Yani, perempuan berusia empat puluh lima tahun itu dibilangnya masih perawan. Semula Pak Mus ragu dengan tawaran dari keponakannya itu.
“Sebentar, wong wedok itu waras apa ndak? Mosok umur segitu belum pernah kawin sekalipun?” tanya Pak Mus dengan nada melecehkan.
“Wah, Pakde Mus jangan menganggap remeh dulu. Mbak Yani itu sehat wal afiat dan orangnya cantik lho, Pakde,” promosi Nunuk.

Pak Mus lantas bersedia dipertemukan dengan Yani. Memang benar apa kata keponakannya. Yani seorang perempuan yang cantik, bahkan lebih cantik ketimbang ketiga orang istrinya terdahulu. Sejak awal Pak Mus mengemukakan niatnya untuk menikah dan ternyata perempuan itu menerimanya. Rayuan gombalnya sukses besar meluluhkan hati Yani maupun keluarganya. Proses selanjutnya berlangsung cepat, mulai dari acara lamaran, menentukan tanggal pernikahan, memesan undangan, dan berbagai urusan administrasi pernikahan. Di tengah-tengah persiapan pernikahannya, Pak Mus mendapat kabar bahwa Pak Atok masuk rumah sakit. Sepulang dari Kantor Urusan Agama, Pak Mus bersama Yani menengok sahabatnya di kamar rawat inap.
“Pak Atok, ini lho calon istriku yang baru. Kamu cepet sembuh ya, biar bisa rawuh di acara nikahku nanti,” ucap Pak Mus menyemangati teman baiknya. Pak Atok yang terbujur lemas di atas ranjang hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis tanpa bicara. Napasnya terengah-engah hingga masker oksigen tak pernah terlepas dari wajahnya.

Akhirnya Pak Mus menikah untuk keempat kalinya, tepat dua bulan setelah peringatan setahun wafatnya istri ketiganya. Hanya akad nikah sederhana di rumah Yani dan tiga hari kemudian, Pak Mus mengadakan resepsi di rumahnya sendiri. Bertepatan dengan hari bahagianya itu, Pak Atok meninggal dunia. Beberapa bulan sebelum menikah, Pak Mus sempat jatuh cinta pada keponakan almarhum yang bernama Intan. Bahkan ia sempat mengajaknya menikah, setelah lebih dahulu memberi perempuan muda itu sebuah pekerjaan di kantornya. Hubungan Pak Mus dan Pak Atok sempat menjadi tegang setelah itu, namun dalam beberapa bulan terakhir hubungan keduanya sudah kembali menghangat.

Begitu selesai acara resepsi pernikahannya, langsung Pak Mus beranjak menuju makam untuk memberikan penghormatan terakhir pada teman baiknya itu. Yani menolak ikut melayat karena merasa kelelahan. Pak Mus pun berangkat bersama salah satu sahabatnya. Tak terlampau disangkanya, di makam ditemuinya lagi Intan, perempuan yang sempat menolak ajakan menjadi istrinya itu.
“Apa kabar Intan? Saya turut berduka dengan meninggalnya pakde kamu. Almarhum itu salah satu teman baik saya,” ujar Pak Mus.
“Baik, Pak Mus. Terima kasih,” sahut Intan dengan perasaan tak nyaman.
“Kamu belum punya pacar juga sekarang? Oh ya, kamu jangan takut ketemu saya lagi. Saya baru saja menikah dan hari ini tadi habis resepsinya di rumah saya,” kata Pak Mus bangga.
“Selamat, Pak,” komentar Intan sambil tersenyum kecut. “Bukan urusanku dan aku juga nggak peduli kamu nikah lagi, Pak!” batin Intan kemudian.

***
Pak Mus kembali menjalani kehidupannya berdua, tentunya bersama seorang istri baru. Senyum kebanggaan terpancar dari wajahnya setiap orang melihatnya berjalan bersama Yani, istrinya yang cantik itu. Ia begitu bahagia menjalani awal pernikahannya yang keempat tersebut. Yani bersedia menuruti setiap kata-katanya seperti halnya mendiang istri ketiganya. Pak Mus merasa tak salah memilih perawan tua nan rupawan itu sebagai istrinya. Namun hal itu berlangsungnya sekejab belaka. Karakter asli Yani ternyata sangat bertolak belakang dengan sifat almarhumah yang kalem, sabar, dan sangat penurut itu. Semula Yani bersabar menghadapi sikap suaminya dan memaklumi dirinya, bahwa sebagai pengantin baru memang mesti banyak menyesuaikan diri dengan pasangannya. Ia kemudian mulai sadar bahwa dirinya masih mempunyai kehendak sendiri dan tak selamanya bisa selalu menuruti apa kata Pak Mus.

Suatu saat Yani meminta izin suaminya untuk pulang ke rumah ibunya dan menginap sendiri di sana. Sebenarnya ia ingin sejenak menghindarkan diri dari suaminya. Semula Pak Mus tak mengizinkan permintaan itu.
“Pak, masak aku nggak boleh tidur di tempat ibuku sendiri? Kan mumpung beliau masih ada, aku pengen sesekali seharian bersamanya!” kata Yani dengan nada rada tinggi.
“Tapi Yan, dulu itu…”
“Sudahlah, Bapak nggak usah membandingkan aku dengan istri Bapak yang dulu-dulu. Aku itu beda dengan mereka! Apa Bapak mau aku pergi dari rumah ini dan nggak pernah kembali lagi? Ayolah Pak, wong hanya tiga hari aku pulang ke rumah Ibu,” ujar Yani memotong kata-kata Pak Mus yang belum selesai.

Pak Mus terpaksa melepas kepergian istrinya untuk sementara. Tentu saja lebih baik begitu, ketimbang istrinya itu pergi dan tak kembali ke rumahnya lagi. Hal tersebut tak pernah terjadi pada istri ketiganya. Almarhumah berkali-kali ingin tidur di rumah ibunya, apalagi di sana terdapat pula anak kandungnya yang tinggal bersama neneknya. Namun Pak Mus selalu tak memberikan izin dan istri ketiganya itu selalu saja manut, meski sedih sekali hatinya. Memang dasar Pak Mus yang selalu hanya peduli perasaaan dan kehendaknya sendiri, tak pernah peduli dengan perasaan orang lain, bahkan istrinya sekalipun.
Kini Yani seolah memberi sebuah pukulan telak pada Pak Mus dengan sikapnya yang berbeda. Harga diri lelaki tua itu sebenarnya terluka, tapi baginya yang penting orang lain tiada yang tahu masalah sebenarnya. Ia justru ingin orang malah melihatnya sebagai seorang suami yang demokratis, yang memberi kesempatan istrinya memiliki pendapat yang berbeda dengan dirinya. Padahal, dalam hatinya Pak Mus sangat geram dengan perilaku istrinya yang tak jarang membantah apa katanya. Lambat laun ia merasa telah salah menduga hingga memilih Yani sebagai istrinya.

Merasa mendapat angin, Yani jadi sering meninggalkan rumah suaminya. Jika tidak tidur di rumah ibunya, ia beralasan mengantar ibunya mengunjungi saudara-saudaranya di berbagai kota. Pak Mus cukup sabar menghadapinya, kendati kadang ia merasa uring-uringan juga. Bukankah niatnya menikah lagi supaya ada seorang perempuan yang selalu mendampinginya setiap waktu? Namun setiap kali Yani pulang, Pak Mus bisa melupakan kesuntukannya. Ketika berjalan berdua dengan istrinya lagi, kembali ia merasa menjadi lelaki yang paling beruntung di dunia.

***
Pada sebuah malam Pak Mus dan Yani makan berdua di sebuah restoran. Di tempat itu Yani bertemu dengan Winky, seorang lelaki yang pernah menjadi teman SMA-nya. Winky adalah seorang duda, sudah tiga tahun ia ditinggal mati istrinya. Sempat masygul terasa di hati Yani, mengapa baru kini ia bertemu kembali dengan lelaki tampan itu? Sekejab, kenangan manis masa silam terlintas di angan Yani. Winky adalah cinta pertamanya dan mereka sempat setahun berpacaran. Setelah lulus SMA, mereka tak pernah lagi berhubungan. Yani tak pernah menyangkanya sama sekali, ketika baru sekian bulan melepas masa lajangnya, ditemuinya lagi sang pujaan hati di masa muda yang telah menduda.

Sejak pertemuan tersebut, Yani kembali menjalin hubungan dengan Winky, tentunya sebagai dua orang teman lama. Pak Mus yang mengetahui hubungan itu tak mempermasalahkannya. Sejatinya Yani berharap bisa menjalin kasih lagi dengan Winky. Awalnya asa itu bertepuk sebelah tangan belaka. Winky merasa bahwa tiada lagi cintanya pada perempuan itu. Apalagi ia masih ingin bisa memiliki anak kandung, sekiranya menikah lagi nanti. Yani sendiri merasa terlalu tua untuk hamil, kendati sebenarnya mungkin. Hanya memang besar risikonya untuk perempuan seusianya mengandung dan melahirkan. Namun demi cintanya pada Winky dan supaya bisa terlepas dari genggaman Pak Mus, ia siap berkorban apa pun.
“Winky, aku siap mengandung anak kamu. Aku tahu aku sudah cukup tua untuk hamil, tapi dulu ibuku pun melahirkan adik bungsuku saat usianya sudah empat puluh tujuh, sedangkan usiaku sekarang masih empat puluh lima,” tutur Yani berusaha meyakinkan Winky.
“Yan, cinta bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bersedia mencoba membangun perasaan baru padamu, meski entahlah hasilnya nanti. Sungguh, kuhargai pengorbananmu demi aku. Tapi ada satu hal penting, aku nggak mau jadi orang ketiga dalam rumah tanggamu,” sahut Winky.
“Baik, kamu tunggulah sampai aku menggugat cerai Pak Mus.”

***
Seraya masih tetap sering pulang ke rumah ibunya, Yani mulai menyusun rencana untuk menggugat cerai Pak Mus. Winky telah menghubungkannya dengan Pras, seorang pengacara yang kerap mengurus perkara perceraian. Namun sebelum Yani sempat melangkah, sesuatu terjadi pada suaminya. Pak Mus terserang stroke! Mungkin ia telah memiliki firasat buruk akan digugat cerai oleh istrinya. Yani pun segera mengabari Winky.
“Bagaimana ini, Winky? Apa yang mesti kulakukan sekarang?
“Mending kamu urus dulu suami kamu. Lupakan hubungan kita untuk sementara. Kamu sudah hubungi Pras? Suruh dia menunda pendaftaran gugatan cerai kamu ke pengadilan.”

Yani menuruti kata-kata Winky. Sejenak ia menunda mimpi masa depannya dan mencoba menjalankan tugasnya sebagai istri yang baik. Stroke membuat Pak Mus sulit mengucapkan kata dan tubuhnya lumpuh separuh. Yani tak tega melihatnya, maka dengan sabar ia merawat suaminya. Ia yakin bahwa pengorbanannya akan berbuah manis pada saatnya nanti. Yani akan terus menunggu hingga Pak Mus sembuh, menggugat cerai suaminya, lantas merenda perjalanan cinta berikutnya bersama Winky.

Setahun tanpa terasa telah berlalu. Kondisi Pak Mus tak banyak berubah selama itu. Lambat laun Yani merasa jenuh dengan kondisi suaminya, kendati sudah ada seorang perawat profesional yang dibayar untuk menangani Pak Mus di rumah. Telah cukup lama pula komunikasinya kembali terputus dengan Winky, yang beberapa bulan sebelumnya mendapat pekerjaan baru di mancanegara. Yani tak mengerti, bagaimana caranya ia bisa kembali menjalin hubungan dengan lelaki yang diharapkannya menjadi cinta terakhirnya.

Dalam situasi hati Yani yang terombang-ambing, Pak Mus kembali terkena stroke. Kali ini nyawa suami Yani tak terselamatkan lagi. Yani pun resmi menjanda. Tiga hari setelah pemakaman Pak Mus, ia pulang ke rumah ibunya. Dalam kesepian, hadirlah Winky menemui dirinya. Tersembul kembali asa di hati Yani yang sempat terpendam selama sekian waktu.
“Yan, maaf. Baru sekarang aku bisa menemuimu lagi,” ujar Winky.
“Pak Mus sudah tiada sekarang. Apakah kita jadi menikah?” tanya Yani penuh harap.
Winky tertunduk di depan Yani. Ada sesuatu yang mesti dikatakannya, namun berat rasanya untuk membuatnya tersurat.
“Mmm…Yan, aku benar-benar minta maaf. Ternyata aku gagal membangun rasa cintaku padamu lagi. Aku tak bisa menikahimu.”
“Oh…” pendek saja respons Yani, yang serta merta merasa hatinya patah dan matanya telah basah.
“Delapan bulan yang lalu atau tiga bulan setelah kutinggalkan Indonesia, aku jatuh cinta pada seorang perempuan. Dia teman kerjaku. Aku langsung mengajaknya menikah dan ternyata dia bersedia. Kini dia telah lima bulan mengandung anakku,” lanjut Winky yang berusaha keras mengatakannya dengan hati-hati. Yani hanya bisa terpaku memandang wajah kekasih impiannya. Ia tak mengerti mesti berkata apa menghadapi kenyataan yang ada.


# Cerpen ini pernah dimuat di Harian Global (Medan) edisi Sabtu, 9 Januari 2010.

Tidak ada komentar: