Tak pernah
terbayangkan bakal kumiliki riwayat dengan tiga lelaki bersaudara dari sebuah
kerajaan yang –ironisnya- tidak berhubungan baik dengan kerajaan kami. Yang
pertama terhubung denganku adalah sang putra bungsu. Awalnya, aku mengenalnya
sebagai anak angkat pamanku belaka. Sekadar kutahu pemuda bernama Sungging itu
piawai melukis dan pernah membuat lukisan diriku yang begitu mirip aslinya. Anehnya,
kami jarang sekali bertatap muka selama ini. Lalu, siapakah Sungging sebenarnya?
Mengapa ia mampu melukis sosok ragaku seutuhnya secara saksama?
Baru
kuketahui hal ihwal Sungging, justru setelah berjumpa dengan Udrayaka, kakak
kandung pelukis tersebut. Tak mudah bagiku melupakan pertemuan pertamaku
dengannya. Pada sebuah malam aku terjaga dari lelap tidurku dan dirinya semata
di depan mata.
“Siapa
kau? Apa maksudmu berada di sini?” tanyaku berupaya menyembunyikan ketakutanku.
“Maaf,
jika kehadiran saya mengusik tidur Tuan Putri. Saya Udrayaka, saudara kandung
raja Hastinapura. Benarkah Anda Setyawati, putri Prabu Sulangkara?” Sang pemuda
gagah demikian sopan menjawab pertanyaanku.
“Benar. Lantas, apa maksud Anda datang
kemari?” Sikapnya menumbuhkan simpati, maka lebih santun diriku saat bertanya
kembali.
”Saya akan mengajak Anda ke
Hastina agar menjadi permaisuri raja,” ujarnya dengan raut wajah ramah.
”Jadi, Anda hendak menculik
saya? Mengapa tidak terang-terangan saja datang menghadap Prabu Sulangkara?”
Ucapannya cukup memancing amarahku.
”Saya mohon, Anda sudi
mendengarkan sebabnya lebih dulu.”
”Baiklah.” Entah ilmu apa
yang dimilikinya, sehingga emosiku seketika padam dan justru memberinya
kesempatan melanjutkan perkataannya.
”Apakah Anda mengenal
Sungging?”
”Ya, tapi saya mengenalnya
sebatas nama.”
”Apakah Anda pernah
berjumpa dengannya?”
”Kami pernah bertemu muka, namun sekilas belaka.”
”Perlu Tuan Putri ketahui
bahwa Sungging sesungguhnya adik saya. Nama aslinya Udrasana, putra bungsu mendiang
Prabu Parikesit. Udrasana terpisah dari kami sejak masih bocah, ketika terjadi insiden
mengamuknya para penghuni kebun binatang di wilayah Hastina. Ternyata dia
bertemu dengan patih Miantipura, yang kemudian mengangkatnya sebagai anak.”
”Oh, jadi dia sebenarnya pangeran
dari Hastina? Lantas, apa hubungannya dengan saya?”
”Tentu Anda tahu, Sungging
pernah membuat lukisan yang persis dengan aslinya.”
”Ya, saya tahu dia pernah membuat
lukisan yang menyerupai saya. Dan saya tak habis pikir, bagaimana cara dia
melukisnya? Saya bagaikan becermin belaka ketika menatap lukisan itu.”
”Apakah Anda tahu yang
telah dilakukan Prabu Sulangkara terhadap Sungging?”
”Apa yang terjadi? Saya
sama sekali tak mengerti.”
”Ayah Tuan Putri telah
membunuh dan memotong-motong tubuh Sungging gara-gara lukisan itu. Dia dihukum
mati tanpa memahami kesalahannya terhadap sang raja. Apakah Anda ingat, peti
yang diterbangkan bersama layang-layang raksasa oleh Prabu Sulangkara tempo
hari? Potongan tubuh Sungging diletakkan di dalam peti itu.”
”Oh, demikian malang nasib
pemuda itu. Tak kuduga pula, betapa kejam perbuatan ayahku. Lalu, di mana jasad
Sungging kini berada?”
”Tanpa sengaja, kami
menemukan peti berisi jasad Sungging tergantung pada sebuah pohon di tengah
hutan. Atas perkenan dewata di kahyangan, saya dan kakak saya, Prabu Udrayana,
mampu menyatukan kembali jiwa raganya. Ia bisa hidup lagi dan telah
menceritakan segala yang terjadi.”
”Lantas, apa yang bisa
saya lakukan sekarang?”
”Kami bermaksud membuat
perhitungan dengan ayah Putri Setyawati, namun dengan rasa keadilan. Biarlah
dia merasakan sakitnya kehilangan putri kesayangannya. Mau tak mau, Anda saya
bawa ke Hastina. Saya akan meninggalkan surat untuk Prabu Sulangkara di sini.
Bagaimana, Tuan Putri?”
”Baiklah, saya bersedia
ikut ke Hastina. Tunggu saya berganti pakaian dahulu.”
***
Tak lama berselang, kutinggalkan
istana Miantipura dengan bergegas. Surat untuk ayahku diletakkan di atas meja kamarku.
Tiada seorang pun tahu kepergianku. Segenap penghuni istana, termasuk para
prajurit penjaga, tengah nyenyak dalam tidurnya berkat kesaktian yang dimiliki
Udrayaka. Tiada lagi rasa takut ataupun ragu saat melangkah karena aku memercayainya
sebagai seorang kesatria yang berbudi baik. Aku menurut belaka ketika ia
mengangkat tubuhku ke atas kudanya yang tinggi besar. Dalam posisi menyamping,
aku duduk di depan Udrayaka yang mengendalikan sang kuda. Tangan kananku
berpegangan erat pada bahunya yang kokoh. Bagian kanan tubuhku sesekali
menyentuh dadanya yang bidang dan perutnya yang kencang. Tangan kanan Udrayaka
kadang menyenggol kedua kakiku, sementara tangan kirinya malah menjadi tempat
punggungku bersandar.
Dalam gelap perjalanan, suasana hatiku sungguh tak
karuan. Detak jantungku jadi lebih cepat, sempat panas dingin pula tubuhku. Belum
pernah sebelumnya, aku berada dalam kondisi sedekat itu dengan seorang lelaki.
Ada sesuatu yang tak terkatakan, namun terasa menyenangkan. Apakah sesungguhnya
kurasakan indahnya jatuh cinta? Aku berusaha mengatur napasku agar tetap terlihat
tenang di mata Udrayaka, padahal
ketegangan sebenarnya melingkupi jiwa ragaku.
Di luar ibukota Miantipura, seorang lelaki muda
tengah menunggu. Ternyata dialah Udrasana. Ia tersenyum melihatku bersama
kakaknya. Kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju Hastina. Sepertinya
beberapa kali aku terlelap di pelukan Udrayaka. Terasa nyaman dan tak
melelahkan, kendati perjalanan berlangsung sejak malam hingga siang harinya
kami baru memasuki wilayah Hastinapura.
”Putri Setyawati, silakan beristirahat di tempat
yang sudah kami sediakan. Silakan mengatakan keperluan Anda kepada inang
pengasuh,” kata Udrayaka begitu kami menjejakkan kaki di dalam istana.
”Apakah saya tidak harus segera berjumpa dengan
Prabu Udrayana?” tanyaku.
”Kanda Prabu Udrayana tidak ingin tergesa. Kita
akan menjumpainya petang nanti. Lagi pula perjalanan dari tadi malam pasti
sangat melelahkan Anda.”
Aku merasa tersanjung diperlakukan sedemikian rupa.
Para inang pengasuh pun bersikap baik seakan aku memang majikan mereka. Tanpa
kesulitan, aku langsung terlelap di pembaringan sesudah membersihkan diri dan
mengisi perutku. Sekian jam kemudian aku terjaga, salah satu inang pengasuh
memberitahuku sesuatu.
”Putri Setyawati telah ditunggu oleh Pangeran
Udrayaka dan Pangeran Udrasana di luar. Mereka akan menghadapkan Anda kepada Prabu
Udrayana.”
”Oh, jadi mereka sudah menunggu saya? Baiklah,
saya segera mempersiapkan diri.”
Sempat berdebar-debar lagi
dadaku begitu bertatapan mata dengan Udrayaka. Namun lekas kuenyahkan sesuatu
yang mengusik perasaanku. Mesti kusadari, aku berada di istana Hastina bukan
akan menjadi pendamping hidup pangeran, melainkan menjadi permaisuri raja.
Kuikuti langkah Udrayaka dan Udrasana yang akan mempertemukanku dengan kakak
mereka. Seraya berjalan, sedikit kubayangkan seperti apa figur putra sulung mendiang
Prabu Parikesit itu.
Ternyata pertemuan pertamaku dengan raja Hastina
tidaklah terlalu mengesankan. Prabu Udrayana terlihat biasa belaka. Wajahnya
cukup rupawan, tapi tubuhnya agak kurus, dan sosoknya tidak segagah Udrayaka.
Usia raja muda tersebut mungkin sedikit lebih tua ketimbang aku. Keraguan seketika
menyeruak dari relung kalbuku. Apakah sudah benar, kuterima begitu saja
permintaan Udrayaka agar aku bersedia menjadi istri kakaknya? Tak bisa segera
kujawab pertanyaan itu.
***
Takdir dewata telah
membawaku menjadi permaisuri Prabu Udrayana. Perdamaian akhirnya terjadi antara
Hastinapura dan Miantipura, sesudah pasukan kedua kerajaan sempat bertempur karena Prabu
Sulangkara ingin merebut kembali putri kesayangannya. Ayahku menerima
permintaan raja Hastina menjadi menantunya. Aku tak keberatan menjalani
pernikahan dengan Udrayana, demi terciptanya hubungan baik kedua kerajaan. Namun,
tak akan kulupakan lelaki yang pertama kali membawaku ke Hastina. Apalagi
dialah yang sesungguhnya mampu mengimbangi kesaktian ayahku kala terjadi perang
tanding di antara mereka. Sepanjang hayatku, tak pernah kulihat ada kesatria
yang bisa melakukannya. Prabu Sulangkara begitu kondang sebagai raja sakti
mandraguna yang susah dikalahkan sesiapa. Mesti ada kata-kata yang keluar dari
mulutku, sebelum salah satu dari Udrayaka maupun ayahku dijemput nyawanya oleh
Batara Yamadipati.
”Setyawati anakku, mengapa
kau berada di sini?” tanya ayahku.
”Siapa yang Ayah bela
sehingga mengadu jiwa dengan Udrayaka?”
”Hei, dia kan yang
menculikmu?”
”Dia bukan penculik karena
hamba sukarela mengikutinya,” kataku tanpa berdusta.
”Dengan sukarela? Mengapa
kau melakukan hal itu, anakku?”
”Saya ingin meminta maaf
kepada Sungging yang dibunuh Ayah, meski dia tak bersalah. Ayah pasti sudah
tahu, Sungging adalah adik raja Hastina saat ini.”
”Ayah mengaku bersalah
telah membunuh anak itu. Lalu bagaimana perlakuan mereka terhadapmu di
Hastina?”
”Mereka sangat memanjakan
saya, bahkan saya akan menjadi permaisuri raja Hastina.”
”Hei, siapa yang
mengizinkanmu menikah dengannya?”
”Dahulu Ayah pernah
berkata ingin memiliki menantu yang sesakti Anda. Kenyataannya Ayah tak mampu
mengalahkan Udrayaka.”
”Tapi dia bukanlah raja
Hastinapura.”
”Sama saja. Udrayaka
adalah adik raja Hastina.”
”Kau bersedia menjadi
istrinya?”
”Iya, Ayah. Saya bersedia.”
Cukup berat bagiku mengatakannya karena tak bisa kumungkiri, sejatinya aku jauh
lebih menyukai Udrayaka. Tak kuasa kutatap lelaki gagah yang tengah berdiri
terpaku di hadapan ayahku.
”Baiklah, kurestui kau
menikah dengannya.”
Akhirnya bersandinglah
diriku di pelaminan bersama Udrayana, lelaki ketiga dari Hastinapura yang
kukenal setelah adik-adiknya. Barangkali bakal ada kisah panjang tersurat
antara aku dan Udrayana. Namun, entah apakah dapat terjalin anyaman cerita nan
indah, sementara bukanlah dirinya lelaki yang sejatinya pernah membuatku jatuh
cinta.
# Cerpen ini dikembangkan dan terinspirasi dari salah satu episode dalam
komik wayang Prabu Udrayana karya RA Kosasih (pernah dimuat di nusantaranews.co pada 22 Januari 2017).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar