Minggu, 17 April 2022

Cerpen Nomor 200



Masih belum ada kepastian, apakah yang bakal menjadi tema cerita pendek nomor 200 sepanjang hayatku ini? Senantiasa kucatat belaka judul cerpen-cerpen yang mampu kutuntaskan, lalu kukirimkan ke sejumlah media sebagai salah satu upaya menjemput rizki. Tak pernah kuanggap penting ketika jumlah cerpenku mencapai angka 50 atau mungkin 100. Namun, entah mengapa aku perlu menjadikan cerpen ke-200 ini sebagai karya istimewa. Sebagai sebuah perayaan kecil belaka barangkali. Baiklah, kucoba memulainya kini.

           “Sebenarnya aku punya hasrat untuk menulis seperti kamu,” ucap seorang temanku yang mengaku kerap membaca cerpenku di media.

         “Sepertinya aku mesti melewati banyak penderitaan, sehabis itu barulah aku bisa menulis kisah demi kisah,” sahutku setelah sempat bergeming sejenak.

            “Wah, jadi malah menarik ya, kisah hidupmu. Tapi, pasti ada ilmunya.”

        “Tentu saja aku banyak belajar dari buku-buku maupun dari para pendahulu di bidang literasi. Aku cenderung setuju dengan apa yang dikatakan Haruki Murakami, penulis asal Jepang itu. Menurutnya, dalam hidup aku tak bisa menjadi orang lain, tapi dalam fiksi aku bisa menjadi siapa saja. Aku bisa membayangkan diriku menjadi orang lain. Bisa dibilang ini semacam terapi.”

         “Tapi, bagaimana kalian melakukannya? Bagi orang awam yang bukan seniman sepertiku, hal itu sungguh menjadi misteri.”

           “Entah kita sadari atau tidak, ketika menghadapi masalah dalam hidup ini,  pasti banyak hal yang lantas membuat sedih, gelisah, marah, kecewa, dan macam-macam energi negatif lainnya. Ketika aku mulai menulis cerpen, energi negatif itu bagaikan mendapatkan jalan agar tersalurkan. Menjadi semacam ruang katarsis. Jika semua itu kupendam belaka, barangkali aku bisa jatuh sakit, baik raga maupun jiwaku.”

      “Faktanya, kisah-kisah bertema dukacita memang cukup dominan kusuratkan selama ini. Berdasarkan pengalaman, aku sudah kehilangan Bapak, Ibu, kakak sulung, kakek, nenek, dan pamanku. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kedekatan secara fisik maupun emosional dalam hidupku. Tentu selalu ada hal-hal yang bisa digali dari sosok mereka yang sudah tiada. Maka terciptalah sejumlah cerpen tentang mereka. Demikian pula pelbagai cerita kandasnya cinta yang kualami sendiri. Namun, tentu aku tak hanya menjadikan diriku dan keluargaku sebagai sumber inspirasi. Terkadang apa yang sedang heboh di masyarakat pun menyumbang gagasan untuk terciptanya karya baru.”

        “Bisa kau sebutkan cerpen yang manakah yang kau maksud?” tanya temanku.

         “Ketika ada konflik yang terjadi di tubuh PSSI, maka aku menulis dua cerpen : Pemimpin Boneka dan Berbekal Wasiat. Oh ya, ketika heboh pemilihan presiden, aku pun pernah membuat cerpen berjudul Dilema Nesya. Tentu saja aku tidak secara vulgar menceritakan mereka.”

            “Kalau cerpen tentang orangtuamu yang sudah tiada?”

        “Aku membuat cerpen Saat Ayah Pergi untuk Bapak. Sebenarnya judul aslinya kutulis dalam bahasa Inggris, kesannya lebih puitis. Cuma saat dimuat di sebuah majalah, judulnya diganti ke dalam bahasa Indonesia.”

            “Apakah judul asli cerpen Saat Ayah Pergi?”

            “The Day My Dad Passed Away.”

        “Wah, kupikir judul itu lebih keren, sih. Oh ya, kalau untuk ibumu ada juga?”

           “Cukup banyak cerpenku demi mengenang mendiang Ibu. Ada Menjelang Kepergian Ibunda, Lebaran Terakhir Mama dan Ibunya, Membaca Jalan Pikiran Ibu, dan Menjelang Tiba Ujung Senja. Ibu cukup kerap hadir dalam cerpenku lainnya, kendati tidak sebagai tokoh utama.”

        “Sejujurnya, aku tidak bisa membayangkan jika kudu menjalani hidup seperti dirimu.”

“Menulis bagiku adalah cara menghindarkan diri dari kegilaan. Piano mengisi jiwaku yang hilang karena kegilaan itu.”

“Apakah hal itu yang terjadi padamu?” tanya temanku lagi.

“Kalimat itu bukan milikku, melainkan kubaca dalam cerpen “Gerimis dalam E Minor” karya Agus Noor. Aku sungguh merasa terwakili dengan apa yang dia suratkan dalam cerpen itu.”

Selain menulis cerpen, aku pernah menjadikan kemampuanku dalam bermain piano sebagai pekerjaanku. Padahal aku bisa memainkannya tanpa pernah belajar secara formal kepada siapa pun. Nah, pada tahun ke-13 menjadi musisi, datanglah pandemi yang membuatku serta-merta berhenti bekerja di bidang itu. Namun, kendati untuk sementara bermain piano tak lagi menghasilkan rezeki berupa materi, tapi aku masih bisa mendapatkan ruang katarsis lainnya saban kali memencet tuts-tuts berwarna hitam putih di rumahku. Terima kasihku, tentu saja kepada kedua orangtuaku yang puluhan tahun silam membeli sebuah piranti musik yang masih bisa dimainkan oleh anak mereka hingga kini.

Aku tak yakin apakah yang kusuratkan ini sudah layak dikatakan sebagai cerpen atau sebatas racauan tanpa makna bagi sesiapa.


# Cerpen ini dimuat di Kedaulatan Rakyat edisi Jumat Pahing, 1 April 2022.

 

Tidak ada komentar: