Kakak
perempuanku sudah tiga kali mencoba ikut vaksinasi sebagai upaya melawan Covid-19, tapi selalu gagal karena setiap diperiksa tensinya melebihi batas
maksimal. Para petugas kesehatan hanya bisa menyarankan kakakku menunda penyuntikan vaksin. Dia pun mendaftar lagi secara
daring bersama diriku. Ternyata beberapa hari kemudian dia tidak dihubungi panitia,
sedangkan aku justru mendapat informasi kapan vaksinasi dilakukan. Terus terang,
aku sedikit ragu karena riwayat kesehatanku di masa lalu, lantas aku pun cenderung
memiliki hipertensi pula karena faktor genetik. Mendiang kedua orangtuaku
menurunkan hal itu kepada sepasang anaknya.
Berbekal
doa aku berangkat ke lokasi vaksinasi dengan cukup percaya diri. Kendati
biasanya kerap begadang, tapi dua hari sebelum vaksinasi aku selalu tidur tidak
terlalu malam dan membiasakan bangun pagi. Setiba di lokasi lebih dahulu kuisi
formulir pendaftaran, sejenak belaka menanti hingga akhirnya mendapat giliran diperiksa.
Aku duduk di sebuah kursi, tangan kiriku ditaruh di atas meja untuk diperiksa
tensinya. Sepasang dokter perempuan yang tampak masih muda memeriksa tekanan
darahku sembari mewawancaraiku.
“Bapak
punya tekanan darah tinggi, ya?” kata perempuan berambut pendek yang bertugas
mencatat hasil pemeriksaan.
“Memangnya
berapa tensi saya?” tanyaku tidak mendapat jawaban, tapi sekilas kulihat angka
197 di tensimeter digital tersebut. Sekejap aku bergeming belaka.
“Kenapa
tidak minum obat, Pak? Apa karena takut mengalami ketergantungan?” tanya dokter
yang mengecek tensiku. Dia mengenakan jilbab dan masker tanpa kutahu wajahnya,
tapi ayu sepertinya.
“Bapak
itu mestinya rutin minum obat. Maaf ya, Pak. Saya punya cerita, ada teman saya
usianya tiga puluhan tiba-tiba meninggal dunia karena sakit jantung. Sesaat
sebelum wafatnya, baru diketahui bahwa dia menderita hipertensi.”
Entah
apa maksudnya si rambut pendek mengatakan hal itu kepadaku, sedangkan temannya
memeriksa ulang tekanan darahku.
“Ini
tensi Bapak sudah turun. 176/110. Silakan menuju meja vaksinasi. Tapi, hari ini
Bapak harus banyak beristirahat dan jangan banyak beraktivitas, ya,” kata
dokter berjilbab yang kusahut dengan terima kasih seraya beranjak menuju tahap
selanjutnya.
Aku
memang lebih banyak membisu. Aku tidak suka berdebat, apalagi niatku sebatas
untuk disuntik dengan vaksin buatan China itu. Maka akan kujawab pertanyaan dua
dokter muda tersebut di sini. Sejujurnya, aku memang tidak ingin mengalami
ketergantungan terhadap obat-obatan modern. Aku belajar dari pengalaman mendiang
ibuku yang semenjak muda secara rutin dipaksa mengonsumsi obat untuk
menanggulangi tekanan darah tinggi yang dideritanya. Namun, puluhan tahun
memasukkan zat-zat kimia ke dalam tubuhnya membuat ginjal Ibu akhirnya bermasalah.
Bahkan ibuku akhirnya tutup usia lantaran gagal ginjal. Maka sebisa mungkin aku
tidak akan minum obat untuk mengatasi gangguan kesehatanku.
Selain
itu, aku pernah sangat karib dengan jarum suntik pada masa bocah hingga awal
remajaku. Waktu itu paru-paruku dideteksi oleh dokter ahli mengalami masalah.
Maka aku wajib menjalani pengobatan dengan suntikan dalam kurun masa tertentu.
Secara berkala dadaku difoto rontgen
untuk mengontrol perkembangannya. Akhirnya aku berhenti disuntik. Namun, sekian
tahun kemudian aku kembali melakukannya untuk mengobati alergi debu di dokter
ahli yang berbeda. Tak kuingat berapa lamanya aku pernah rutin disuntik. Mungkin
itulah sebabnya aku senantiasa kurus sepanjang hayatku. Entah sudah berapa
liter saja cairan zat kimia yang pernah dijejalkan ke dalam tubuh mungilku dahulu.
***
Semula
ada rencanaku minum obat penurun tensi, beberapa hari sebelum menjalani vaksin
kedua, tapi akhirnya tak kulakukan. Kakakku yang menyimpan beberapa saset sesekali
mengonsumsi obat tersebut. Aku memilih memakan melon yang baru dibeli kakakku. Yang
kutahu, melon adalah buah yang bisa menurunkan tekanan darah. Setelah dikupas
dan dipotong-potong, berkali-kali aku melahapnya sejak sore hari sebelumnya
hingga pagi sebelum berangkat. Ternyata aku sempat dongkol karena lokasi vaksinasi
kedua tetap di tempat yang sama dengan vaksinasi pertama. Padahal berdasarkan
info via SMS, tempatnya dipindah ke tempat yang sempat kudatangi pada hari yang
ditentukan.
Nah,
begitu diukur tensinya cukup tinggi. 190/115. Namun, dokter yang memeriksa kali
ini tidak reaktif dan dengan tenang memintaku duduk beristirahat sembari minum.
Ternyata ada petugas lain yang lantas menyaranku datang ke tenda putih di luar
area yang menyediakan obat penurun tensi. Maka aku diminta mengunyah obatnya, setengah
jam menunggu, dan baru diukur lagi tensinya. Angkanya sudah berubah menjadi
160/105. Maka aku pun berhak mendapatkan vaksinasi kedua. Mudah-mudahan benda
asing yang dimasukkan lewat tangan kiriku bisa lekas beradaptasi agar tubuhku
semakin tangguh menangkal ancaman serangan virus.
TAMAT
# Cerpen ini dimuat di Kedaulatan Rakyat edisi Jumat Wage, 28 Januari 2022.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar