Minggu, 13 Februari 2022

Sebuah Risalah Vaksinasi

 

Kakak perempuanku sudah tiga kali mencoba ikut vaksinasi sebagai upaya melawan Covid-19, tapi selalu gagal karena setiap diperiksa tensinya melebihi batas maksimal. Para petugas kesehatan hanya bisa menyarankan kakakku menunda penyuntikan vaksin. Dia pun mendaftar lagi secara daring bersama diriku. Ternyata beberapa hari kemudian dia tidak dihubungi panitia, sedangkan aku justru mendapat informasi kapan vaksinasi dilakukan. Terus terang, aku sedikit ragu karena riwayat kesehatanku di masa lalu, lantas aku pun cenderung memiliki hipertensi pula karena faktor genetik. Mendiang kedua orangtuaku menurunkan hal itu kepada sepasang anaknya.

Berbekal doa aku berangkat ke lokasi vaksinasi dengan cukup percaya diri. Kendati biasanya kerap begadang, tapi dua hari sebelum vaksinasi aku selalu tidur tidak terlalu malam dan membiasakan bangun pagi. Setiba di lokasi lebih dahulu kuisi formulir pendaftaran, sejenak belaka menanti hingga akhirnya mendapat giliran diperiksa. Aku duduk di sebuah kursi, tangan kiriku ditaruh di atas meja untuk diperiksa tensinya. Sepasang dokter perempuan yang tampak masih muda memeriksa tekanan darahku sembari mewawancaraiku.

“Bapak punya tekanan darah tinggi, ya?” kata perempuan berambut pendek yang bertugas mencatat hasil pemeriksaan.

“Memangnya berapa tensi saya?” tanyaku tidak mendapat jawaban, tapi sekilas kulihat angka 197 di tensimeter digital tersebut. Sekejap aku bergeming belaka.

“Kenapa tidak minum obat, Pak? Apa karena takut mengalami ketergantungan?” tanya dokter yang mengecek tensiku. Dia mengenakan jilbab dan masker tanpa kutahu wajahnya, tapi ayu sepertinya.

“Bapak itu mestinya rutin minum obat. Maaf ya, Pak. Saya punya cerita, ada teman saya usianya tiga puluhan tiba-tiba meninggal dunia karena sakit jantung. Sesaat sebelum wafatnya, baru diketahui bahwa dia menderita hipertensi.”

Entah apa maksudnya si rambut pendek mengatakan hal itu kepadaku, sedangkan temannya memeriksa ulang tekanan darahku.

“Ini tensi Bapak sudah turun. 176/110. Silakan menuju meja vaksinasi. Tapi, hari ini Bapak harus banyak beristirahat dan jangan banyak beraktivitas, ya,” kata dokter berjilbab yang kusahut dengan terima kasih seraya beranjak menuju tahap selanjutnya.

Aku memang lebih banyak membisu. Aku tidak suka berdebat, apalagi niatku sebatas untuk disuntik dengan vaksin buatan China itu. Maka akan kujawab pertanyaan dua dokter muda tersebut di sini. Sejujurnya, aku memang tidak ingin mengalami ketergantungan terhadap obat-obatan modern. Aku belajar dari pengalaman mendiang ibuku yang semenjak muda secara rutin dipaksa mengonsumsi obat untuk menanggulangi tekanan darah tinggi yang dideritanya. Namun, puluhan tahun memasukkan zat-zat kimia ke dalam tubuhnya membuat ginjal Ibu akhirnya bermasalah. Bahkan ibuku akhirnya tutup usia lantaran gagal ginjal. Maka sebisa mungkin aku tidak akan minum obat untuk mengatasi gangguan kesehatanku.

Selain itu, aku pernah sangat karib dengan jarum suntik pada masa bocah hingga awal remajaku. Waktu itu paru-paruku dideteksi oleh dokter ahli mengalami masalah. Maka aku wajib menjalani pengobatan dengan suntikan dalam kurun masa tertentu. Secara berkala dadaku difoto rontgen untuk mengontrol perkembangannya. Akhirnya aku berhenti disuntik. Namun, sekian tahun kemudian aku kembali melakukannya untuk mengobati alergi debu di dokter ahli yang berbeda. Tak kuingat berapa lamanya aku pernah rutin disuntik. Mungkin itulah sebabnya aku senantiasa kurus sepanjang hayatku. Entah sudah berapa liter saja cairan zat kimia yang pernah dijejalkan ke dalam tubuh mungilku dahulu.

***

Semula ada rencanaku minum obat penurun tensi, beberapa hari sebelum menjalani vaksin kedua, tapi akhirnya tak kulakukan. Kakakku yang menyimpan beberapa saset sesekali mengonsumsi obat tersebut. Aku memilih memakan melon yang baru dibeli kakakku. Yang kutahu, melon adalah buah yang bisa menurunkan tekanan darah. Setelah dikupas dan dipotong-potong, berkali-kali aku melahapnya sejak sore hari sebelumnya hingga pagi sebelum berangkat. Ternyata aku sempat dongkol karena lokasi vaksinasi kedua tetap di tempat yang sama dengan vaksinasi pertama. Padahal berdasarkan info via SMS, tempatnya dipindah ke tempat yang sempat kudatangi pada hari yang ditentukan.

Nah, begitu diukur tensinya cukup tinggi. 190/115. Namun, dokter yang memeriksa kali ini tidak reaktif dan dengan tenang memintaku duduk beristirahat sembari minum. Ternyata ada petugas lain yang lantas menyaranku datang ke tenda putih di luar area yang menyediakan obat penurun tensi. Maka aku diminta mengunyah obatnya, setengah jam menunggu, dan baru diukur lagi tensinya. Angkanya sudah berubah menjadi 160/105. Maka aku pun berhak mendapatkan vaksinasi kedua. Mudah-mudahan benda asing yang dimasukkan lewat tangan kiriku bisa lekas beradaptasi agar tubuhku semakin tangguh menangkal ancaman serangan virus.

TAMAT

# Cerpen ini dimuat di Kedaulatan Rakyat edisi Jumat Wage, 28 Januari 2022.


Tidak ada komentar: