Bukan sesuatu
yang mudah bagi Aini melupakan Nurman, sang adik semata wayang yang tiba-tiba padam
nyawa. Sepanjang tiga dasa warsa lebih, mereka menjadi sepasang saudara yang seakan
tak terpisahkan. Sejak masih bocah, mereka memiliki banyak ketertarikan pada hal
yang sama, apalagi soal makanan. Bahkan mereka pernah bertahun-tahun merintis
usaha bersama, hingga sang kakak akhirnya memilih menyelesaikan studi S-2 dan
bekerja sebagai pengajar di sebuah universitas. Baru tiga bulan berselang, Aini
dan Nurman tak lagi tinggal satu rumah lantaran sang adik telah melepas masa
lajangnya. Jadi, hanya dalam kurun waktu singkat, perempuan tersebut mesti dua
kali kehilangan lelaki yang sangat disayanginya. Semula Nurman tidak ingin
menikah mendahului kakaknya, tapi Aini berbesar hati dan justru mendorong
adiknya agar segera hidup bahagia bersama kekasihnya.
“Kau
tak usah mencemaskanku. Siapa tahu, setelah kau menikah nanti, aku bertemu calon suamiku dan akhirnya bersanding
di pelaminan pula,” ujar Aini.
“Terima
kasih, Kak. Aku lega mengetahui Kak Aini ikhlas membiarkanku menikah lebih
dulu,” sahut Nurman. Mereka berdua pun berpelukan diwarnai air mata keharuan.
Kakak
beradik yang begitu karib tersebut larut kembali dalam beragam perasaan yang
tak terkatakan, tepatnya sehabis Nurman resmi menikahi Laura, kekasih yang baru
dipacarinya dua bulan. Aini tulus mendoakan adiknya agar dapat bersukacita
dalam berumah tangga, kendati ia tahu Nurman sempat ragu sebelum mempersunting
Laura. Sang kakaklah yang berusaha meyakinkan adiknya agar mantap dengan
niatnya.
“Jika kau sungguh mencintainya, apa pun
kekurangannya pasti bisa kau terima. Mestinya begitu pula dirinya terhadap
dirimu, Nurman. Kalian pasti mampu saling memberi maupun menerima apa adanya.”
”Semoga harapan Kak Aini bukanlah angan belaka. Memang
aku harus yakin supaya sanggup menjalaninya,” kata Nurman memotivasi dirinya.
***
Namun, kebahagiaan yang didamba Nurman setelah
menikah ternyata tak sesuai bayangannya. Beberapa sikap istrinya tidak bisa
dengan mudah diterima Nurman, terkadang rasanya terlalu berlebihan. Ia tak
nyaman tetap berada di rumah mertuanya dan memilih pulang ke rumah orangtuanya.
Sang kakak senantiasa menjadi tempat mencurahkan hati paling ideal bagi Nurman.
”Aku tak bisa menyarankan banyak hal karena aku
belum punya pengalaman berumah tangga, tapi kau bisa belajar dari apa yang dilakukan orangtua
kita, kan?”
”Ah, tapi sepertinya Bapak dan Ibu tak pernah
terlihat punya masalah besar. Apa yang terjadi padaku jelas berbeda dengan mereka, Kak.”
”Hei, setiap pasangan pasti punya masalah. Orangtua kita juga demikian. Tapi,
lihatlah bagaimana mereka merampungkan setiap masalah dengan elegan. Hal itulah
yang membuat mereka masih bisa bersama, hingga sudah tiga puluh tahun lebih
saat ini. Aku yakin, mereka sangat bertoleransi satu sama lain.”
”Iya, Kak. Maafkan aku yang terlalu sensitif kini.
Apakah mungkin aku terlalu cepat mengambil keputusan menikahi Laura, ya?”
”Sudahlah, jangan sesali keputusanmu sendiri. Yang
penting, cobalah perbaiki sikap kalian dan beradaptasilah sebaik-baiknya. Tapi.
kalian mesti seia sekata melakukannya, jangan salah satu pihak belaka.”
Sebelum melepas masa lajangnya, Nurman pernah
tujuh tahun berpacaran dengan gadis yang sangat dicintainya. Namun, kisah
asmaranya kandas karena sang kekasih merasa jenuh dengan hubungan mereka. Sempat
terluka hati Nurman cukup parah, lantaran sesungguhnya ia telah berencana mengajak
kekasihnya menikah. Maka begitu ia jatuh cinta pada Laura, perempuan itu
mengaku mencintainya pula, Nurman tak mau lama berpacaran lagi. Ia segera
melamar Laura, kendati ia belum memahami benar karakter kandidat istrinya.
Nurman enggan kembali menunggu agar selekasnya dapat merasakan kenikmatan ibadah
yang belum pernah dilakukannya. Aini mengerti betapa besar kekecewaan adiknya
dalam menjalani awal hari-harinya berdua bersama Laura.
***
Usia pernikahan Nurman dan Laura sudah melewati
tiga kali purnama. Masalah
yang terjadi di antara mereka selalu berusaha dicarikan solusinya oleh
orang-orang terdekat mereka. Nurman sesekali masih tidur di rumah orangtuanya
lagi, tapi ia selalu bersedia pulang ke rumah mertuanya, tempat tinggalnya
bersama Laura. Ia tak rela bahtera rumah tangganya karam begitu saja didera
badai gelombang problema yang ukurannya tak seberapa. Namun, sebuah kejutan besar kemudian terjadi.
Ketika sedang berada di rumah orangtuanya, Nurman sekonyong-konyong mengeluh
sekujur tubuhnya kepanasan. Ia bahkan memutuskan mandi dengan air dingin,
padahal waktu telah larut malam. Tampaknya lelaki tersebut memiliki firasat tersendiri
tentang apa yang akan terjadi pada dirinya.
”Pak,
mungkin lebih baik aku berangkat ke rumah sakit sekarang juga. Tubuhku rasanya sungguh
tak karuan begini,” ujar Nurman dengan sangat gelisah.
Maka tanpa banyak waktu, Nurman diantarkan ke
rumah sakit oleh kedua orangtua dan kakak tercintanya. Ternyata begitu sampai
di rumah sakit, kondisi tubuh satu-satunya adik Aini itu semakin melemah.
Berdasarkan pemeriksaan dokter, telah terjadi komplikasi berbagai macam
penyakit pada tubuh Nurman yang posturnya sangat gemuk itu. Sekitar jam tujuh
pagi hari berikutnya, malaikat maut melaksanakan kewajibannya. Berpisahlah
sudah jiwa dan raga seorang manusia. Serangan jantung menjadi alasan medis tutup
usianya Nurman. Begitu pedih hati Aini mesti melepas kepergian adiknya untuk
kedua kalinya dalam waktu yang tak lama. Mungkin hanyalah ia dan ibunya
perempuan yang paling berduka, sementara dilihatnya Laura malah tampak tak
terlampau sedih kehilangan suami yang baru tiga bulan menikahinya.
***
Dua pekan seusai kepergian Nurman, ada sesuatu tak
terduga yang terjadi lagi. Tante Pur, saudara sepupu ibu Aini yang tinggal di
luar kota dan lama tak ada kabarnya, tiba-tiba menelepon ke rumah untuk
menceritakan sesuatu yang mencengangkan. Ia mengaku didatangi Nurman dalam mimpi
serta telah menyanggupi menjadi perantara terjadinya komunikasi antara almarhum
dengan keluarga terdekatnya melalui telepon. Tante Pur berjanji akan
menghubungi Aini, jika Nurman sudah siap untuk bercakap-cakap.
Laksana mimpi belaka pada awalnya. Tentu Aini tak
bisa percaya begitu saja bahwa pemilik suara yang berada di ujung telepon
memang adiknya. Ia tahu, Tante Pur yang tadi berbicara dengannya, tapi suara
itu serta-merta terdengar berbeda gaya bicaranya.
“Apakah benar, kau memang
Nurman?” tanya Aini dengan nada ragu.
“Iya,
Kak. Inilah adikmu.”
”Bisakah
kau membuktikan diri sebagai adikku?”
”Bisa,
Kak. Terakhir kali, kita makan bersama di sebuah rumah makan Thailand yang baru buka, kan? Semua menu yang kita pesan serbapedas. Aku jelas saja kepedasan, tapi Kak Aini
senang sekali waktu itu.”
”Oh, ya ampun. Iya, itu terjadi empat hari sebelum
Nurman, eh... kamu meninggal...” sahut Aini yang tiba-tiba dadanya sesak dan
air matanya menetes sendiri. Kendati yang didengarnya adalah suara perempuan,
tapi Aini jadi yakin memang adik kesayangannya yang tengah berbincang
dengannya.
”Bagaimana kabarmu sekarang?” ujar Aini setelah
mampu menenangkan hatinya.
”Aku baik-baik saja... Kak
Aini, mohon maafkan segala kesalahanku, ya.”
”Ah, Nurman. Kaulah adikku satu-satunya yang
terbaik di dunia. Mana pernah tidak kumaafkan kesalahanmu?”
”Terima kasih, Kak. Aku lega sudah dimaafkan Kak Aini.”
”Hei, rasanya seperti mimpi saja, aku bisa bicara
lagi denganmu sekarang.”
”Iya, Kak. Oh ya, aku mau minta tolong. Bisa kan,
Kak?”
”Kau mau minta apa, kami
semua pasti akan berusaha
memenuhinya.”
”Sebenarnya
aku tidak sepenuhnya baik-baik saja. Di sini aku kerap tersesat. Jalan di depanku tiba-tiba gelap. Oleh karena itu, aku ingin minta maaf kepada
semua orang yang kukenal, terutama istriku, mertuaku, dan teman-teman
terdekatku. Itulah sesuatu
yang belum sempat kulakukan di akhir hidupku. Dan tolong, hal itu mesti disampaikan
secara khusus di depan mereka. Aku yakin, kalau Bapak, Ibu, dan Kak Aini pasti
sudah memaafkanku tanpa kuminta. Oh ya, jangan lupa untuk menyedekahkan
sebagian harta peninggalanku, Kak. Siapa tahu, hal itu bisa membuat terang
jalanku di sini.”
”Baiklah, permintaanmu akan
kami turuti. Semoga kondisimu di sana jadi lebih baik.”
Maka
pada peringatan empat puluh hari wafatnya Nurman, permintaan maaf itu
disampaikan di depan istri, mertua, maupun teman-teman almarhum. Sebagian harta
peninggalannya juga telah disedekahkan kepada masjid dan panti asuhan terdekat.
Nurman sempat sekali lagi menemui kakak perempuan serta bapak ibunya lewat
perantaraan Tante Pur. Ia mengatakan bahwa jalan yang dilewatinya kini sudah terang dan perasaannya kian tenang. Setelah
itu, Nurman tak pernah menghubungi kembali orang-orang tercintanya. Mengenang
sejuta kisah yang pernah dijalaninya bersama sang adik semata wayang, Aini
hanya mampu meneteskan air mata seraya menahan sesak di dada. Tak pernah ia
lupa berdoa sepanjang masa agar Nurman hidup nyaman di alam sana, walaupun entah
bersama sesiapa. Semoga selalu dalam berkah kasih sayang-Nya.
TAMAT
# Cerpen ini dimuat di simalaba.com pada 31 Maret 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar