Indrya
baru keluar dari kamarnya dan bersiap pergi ke kampus, ketika Hendro kakaknya
bergegas mendekatinya dengan membawa koran edisi terbaru hari itu.
“Memangnya ada berita apa? Sepertinya
Mas Hendro kok tergesa-gesa begitu?”
“Ada kejutan buatmu, Rya. Coba lihat,
foto siapa di headline koran hari
ini?” ujar Hendro seraya menyerahkan koran pada adiknya.
“Rudianto Suherman? Jadi dialah orang
berinisial ‘RS’ yang selama ini disebut-sebut sebagai dalang kerusuhan di
ibukota?” tanya Indrya dengan nada tinggi.
“Iya, Rudi yang pernah kemari menemuimu
itulah yang menjadi orang paling dicari pihak keamanan saat ini!”
Indrya menggelengkan kepalanya sembari
menghela napas. Ia sama sekali tak
menduga bahwa Rudi, lelaki yang pernah dikenalnya tersebut, dikabarkan di koran
sebagai biang keladi kerusuhan yang tempo hari berlangsung di ibu kota. Selain
itu, ia pun dinyatakan sebagai ketua sebuah partai politik terlarang.
“Yang selama
ini kutahu sebatas Rudi bekerja di sebuah LSM. Dan dia memang pernah cerita
punya banyak teman di luar negeri. Tapi, kok aku belum percaya dialah dalang
kerusuhan itu, ya? Kalau jadi ketua partai masih mungkin. Mas Hendro masih
ingat Rudi seperti apa?”
“Iya, aku ingat
betul. Rudi itu penampilannya selalu khas, dengan rambutnya yang tersisir rapi,
pakai kaca mata, terus…”
“Kemeja polosnya yang selalu ketat, bercelana panjang kain,
dan sepatu kulitnya warna hitam. Betul, Rudi memang khas sekali penampilannya,”
lanjut Indrya.
“Hmm, apa iya orang sesantun dia bisa jadi provokator,
ya? Aku ragu.”
Setelah
berdiskusi kecil dengan Hendro dan sejenak menenangkan dirinya, Indrya jadi
berangkat ke kampus untuk bertemu sahabatnya, lantas mencari referensi bagi
skripsinya di perpustakaan. Sesampainya di kampus, ia terpaku belaka ketika
Deden -adik kelasnya- serta-merta menghampiri dan menyalaminya.
“Mbak Indrya
yang tabah, ya. Aku yakin betul, Mas Rudi sebenarnya tidak bersalah. Kami tahu,
dia hanya jadi kambing hitam aparat keamanan. Kami semua pasti berdoa buat
kebaikan kalian. Yah, itulah risiko perjuangan menegakkan demokrasi di negeri
kita. Orde Reformasi sudah makin jelas di depan mata.”
Indrya hanya mengangguk
kebingungan, mengapa Deden berkata seperti itu? Ia sendiri tak terlalu mengenal
adik kelasnya. Yang ia tahu, Deden teman Rudi dan aktivis demonstrasi di
kampusnya. Namun ia tak paham, apakah Rudi berperan pula dalam sejumlah aksi
unjuk rasa yang kerap terjadi di Yogyakarta dan biasanya berakhir rusuh itu. Yang
jelas, pembawaan maupun penampilannya tidak identik dengan teman-teman aktivis lain
yang dikenalnya. Menjelang tiba di perpustakaan, Indrya bertemu dengan Astari
sahabatnya.
“Kamu
sudah ketemu Deden dan kawan-kawannya? Mereka bersimpati padamu atas apa yang
menimpa Rudianto Suherman,” ujar Astari dengan tersenyum.
“Ada
apa, sih? Aku bingung, tadi Deden bicara tak jelas begitu.”
“Aku
tadi juga kaget. Tapi aku bisa menduga apa yang dibilang Rudi pada Deden. Mungkin dia pernah bercerita kalau sudah jadian sama
kamu, Rya.”
“Hah, jadian? Rudi tak pernah menyatakan cinta padaku. Lagi pula aku kan sudah punya pacar?”
“Iya, tapi sepertinya Deden dkk telanjur berasumsi kamu
itu pacar Rudi. Tapi syukurlah, kamu sebenarnya bukan kekasihnya.”
“Iya, sih. Tapi aku sedih dengan nasib Rudi. Bagaimanapun
dia temanku juga, kan?”
***
Gadis itu sejenak menerawang sosok Rudi. Lelaki tersebut
mengajaknya berkenalan di bus kota, setelah mereka berjalan beriringan keluar
dari kampus Indrya. Sehabis itu, mereka kerap bertemu di kampus, hingga Rudi
mendapatkan nomor telepon dan alamat rumahnya, entah dari siapa. Indrya bisa
merasakan bahwa lelaki yang selalu tampil perlente itu melakukan upaya
pendekatan kepadanya. Tentu ia membatasi hubungannya dengan Rudi sebelum
telanjur jauh. Kebetulan, saat itu sudah hampir setahun Indrya serius
berpacaran dengan Haris, teman lamanya di SMA. Mereka bahkan berencana menikah
setelah kuliahnya selesai sebentar lagi.
Indrya memang belum sempat mengatakan dirinya sudah memiliki
kekasih, sementara Rudi pun belum pernah menanyakan hal itu. Bagi Indrya, lelaki
tersebut tak lebih dari teman biasa. Beberapa kali Rudi menelepon dan datang ke
rumah Indrya, tapi malah lebih sering Hendro, Rani adiknya, atau ibunya yang
menerimanya. Yang jelas, semua orang di rumahnya terkesan dengan penampilan
rapi dan betapa sopannya seorang Rudi yang mengaku bekerja di sebuah LSM atau
lembaga swadaya masyarakat itu. Indrya sendiri tidak tertarik mengetahui detail
pekerjaan Rudi, bahkan ia tak tahu siapa nama panjangnya. Kendati sekejap, ia sempat
terkesan kala si lelaki memberinya sebuah buku kumpulan puisi dalam bahasa
Inggris karya Walt Whitman : Leaves of Grass. Dalam halaman kosong di balik
sampul buku, Rudi menuliskan sesuatu :
“Indrya yang baik… Sehabis musim hujan ini -sehabis hujan
reda- cobalah sesekali berjalan di atas ‘leaves
of grass’. Pasti akan tercium wanginya nan segar. Begitu pula ‘leaves of grass’ ini pun ingin membawa
kesegaran yang setara dengan rerumputan tadi.”
Ketika
Indrya tengah melaksanakan KKN atau kuliah kerja nyata di desa, tanpa
disangkanya Rudi menyusulnya ke lokasi. Namun, kebetulan ia baru saja pulang ke
rumahnya. Pemuda itu bergegas kembali ke kota dan segera mendatangi tempat
tinggal perempuan yang dikaguminya.
“Rya,
tadi saya sudah sampai ke desa tempatmu KKN. Ternyata kau tiada di sana,” ucap Rudi yang gaya
bicaranya kadang rada puitis.
“Oh, ya? Hmm, kebetulan memang saya sedang pulang,” sahut
Indrya yang takjub sekaligus kurang suka melihat kegigihan Rudi demi
menjumpainya. Semakin jelas bahwa lelaki tersebut memang menyukainya.
“Tadi
saya bersua Pak Lurah dan teman-temanmu,” lanjut Rudi.
“Maaf, Rudi. Saya buatkan minuman untukmu dulu, ya,” kata
Indrya sambil beranjak ke dalam. Sepertinya inilah waktu
yang tepat baginya menjelaskan statusnya. Sebelum mengeluarkan segelas teh, Indrya menelepon Haris
yang dimintanya segera datang.
Ketika Indrya telah kembali bercengkrama
dengan Rudi di ruang depan, tibalah Haris yang segera mengecup hangat kening
kekasihnya dan memeluknya.
“Rudi, ini
Haris. Dia calon suami saya,” ungkap Indrya di pelukan kekasihnya.
“Halo,
Rudi. Rya sudah sering bercerita tentang Anda,” sapa Haris.
“Oh, ya?”
tanya Rudi yang serta-merta dadanya terasa sesak. Belum pernah sekali pun ia
tahu Indrya memiliki kekasih. Tiba-tiba di depan matanya terlihat jelas kemesraan
gadis pujaannya dengan bakal pendamping hidupnya. Haris sejenak berbasa-basi pada
tamu kekasihnya. Namun, Rudi menyadari sudah selayaknya ia segera beranjak dari
situ. Perjuangannya mendapatkan cinta
Indrya sudah berakhir.
“Maaf, Rya
dan Haris. Lebih baik saya permisi sekarang. Saya belum sempat istirahat,
setelah menempuh perjalanan yang begitu panjang hari ini,” ucap Rudi yang sejatinya
tidak hanya lelah raganya, tapi baru saja remuk hatinya pula. Dan sejak malam
itu, Rudi tidak pernah muncul kembali di rumah Indrya.
Kurang
dari setahun sejak Rudianto Suherman diberitakan sebagai provokator kerusuhan, koran-koran
lantas mengabarkan tentang peristiwa tertangkapnya Rudi. Dalam sebuah proses
pengadilan yang beraroma politis, Rudi dinyatakan bersalah dan divonis 15 tahun
penjara. Namun dua tahun kemudian, terjadilah reformasi. Rudi termasuk yang
dibebaskan dari penjara oleh rezim pemerintahan yang baru. Sekeluarnya dari
penjara, Rudi menjadi figur publik yang cukup kondang. Ia dikenal sebagai
anggota parlemen yang memiliki gagasan cemerlang. Dalam sebuah majalah, ia
pernah menceritakan kisah patah hatinya, manakala gadis pujaannya yang berambut
panjang tengah menjalani kuliah kerja nyata. Tentu saja Indrya gadis yang
dimaksud Rudi. Sementara itu, Indrya dan Haris akhirnya bersanding di pelaminan.
Dalam kurun waktu delapan tahun, mereka telah dikaruniai tiga orang anak.
***
Sekian
tahun berselang. Setelah menikah, Indrya bekerja sebagai dosen di almamaternya.
Sebuah seminar suatu ketika menghadirkannya sebagai salah satu pembicara. Di
antara mereka yang menghadiri acara tersebut, ternyata ada seseorang yang
pernah dikenalnya, yang pernah menyukainya sekaligus dikecewakannya dahulu.
“Saya
hanya ingin mengucapkan salam jumpa dari seorang kawan lama. Kabar saya
baik-baik saja dan semoga kabar Ibu Indrya begitu jua,” ujar Rudianto Suherman sumringah kala mereka berjumpa. Indrya
hanya tersenyum simpul bertemu lagi dengan pengagumnya di masa silam. Ketika coffee-break tiba, Rudi kembali menghampiri
Indrya dan bertanya,
“Rya,
bolehkah aku berterus terang tentang sebuah masa lalu?”
“Silakan,
Pak Rudi. Saya siap mendengarkan,” kata Indrya mencoba tetap santai.
“Aku pernah
gagal memperjuangkan cintaku untuk mendapatkanmu.”
“Hmm,
lalu?” Indrya belum mengerti arah pembicaraan Rudi.
“Tetapi,
itu tak jadi masalah. Aku sudah cukup berhasil ikut memperjuangkan tegaknya
demokrasi di negeri ini. Yah, walau aku mesti pernah merasakan jadi ‘penjahat’
dan tinggal di penjara dua tahun lamanya.”
“Syukurlah dan selamat ya, Pak. Lantas, bagaimana perjuangan cintamu
selanjutnya?” tanya Indrya kemudian, dengan senyuman tanpa kekhawatiran.
“Syukurlah,
perjuangan cintaku akhirnya berhasil juga pada perempuan yang rupanya memang
pasangan jiwaku. Dia baru melahirkan tiga bulan lalu dan langsung dua. Anak
kami kembar, salah satunya kuberi nama Indrya.”
Terasa sedikit masygul di hati Indrya karena nama anak
Rudi ternyata ada yang sama dengan dirinya. Senyumannya mungkin sesaat tak terlihat manis.
#Cerpen ini dimuat di NusantaranewsCo pada 23 Juli 2017.