Pernah kutempuh
sebuah perjalanan di atas roda empat yang cukup jauh bersama saudara-saudara
terdekatku dengan rela hati. Ratusan kilometer, belasan kota, mendung, panas,
hujan, pagi, siang, petang, hingga malam tuntas dilewati dalam sehari belaka.
Kami berangkat jam lima lewat tiga puluh pagi dan sampai di Yogyakarta lagi
sekitar jam satu dini hari. Waktu itu kami pergi ke Brebes -sebuah kota kecil
Jawa Tengah- setelah pada hari sebelumnya dikabari bahwa ada kerabat kami yang wafat.
Sayang sekali, setibanya kami di tujuan, jenazah almarhumah telah dimakamkan.
Kami pun hanya bisa menjumpai dua menantu beserta seorang cucunya. Terus terang
aku cukup menyesal tak sempat memberi penghormatan terakhir terhadap perempuan
yang sudah seperti ibu kedua bagiku tersebut.
Yang baru meninggal dunia adalah Bik Yati,
adik sepupu almarhum Bapak yang pernah menjadi pengasuhku dan seluruh kakakku
ketika kami masih kecil. Bik Yati di mataku merupakan sosok perempuan lugu yang
selalu tulus penuh welas asih. Beliau juga seseorang yang sangat tangguh,
sabar, dan tegar. Masih kuingat banyak cerita dari mendiang Bapak maupun Ibu
tentang beliau. Ketika masih muda, Bik Yati sudah ditinggal pergi sang suami
untuk selamanya. Padahal ada lima anak lelaki yang menjadi tanggung jawabnya.
Yang tertua berusia lima belas tahun, sementara yang termuda baru berumur tujuh
tahun saat hal tersebut terjadi. Beruntunglah ada banyak saudara yang bersedia
membantu meringankan beban Bik Yati, termasuk bapakku. Anak pertama hingga anak
ketiga Bik Yati telah lebih dahulu diajak untuk ikut tinggal bersama paman atau
bibi mereka yang lain. Tinggallah Bik Yati dengan dua anak terakhirnya yang
masih berada di rumah kontrakan peninggalan mendiang suaminya.
Bapak yang waktu itu baru kehilangan istri
pertamanya -yang wafat tak lama seusai melahirkan- kemudian mengajak adik
sepupunya itu untuk tinggal bersamanya. Kebetulan Bapak pun memiliki lima anak
perempuan yang masih kecil hingga beranjak remaja. Maka Bik Yati pun menjadi
semacam ibu pengganti bagi kakak-kakakku yang sudah barang tentu masih begitu
memerlukan kasih sayang seorang ibu. Kendati sebenarnya dua saudara sepupu
tidak terlarang untuk menikah, namun Bapak tidak bersedia mengawini Bik Yati,
bahkan sama sekali tak terpikir di benaknya soal itu. Bagi Bapak, perempuan
tersebut sudah persis seperti adik kandungnya sendiri. Sejak bocah mereka
tinggal di rumah yang sama, senasib sepenanggungan, senang maupun sedih pernah
dirasakan bersama dalam kurun masa yang amat lama. Sama saja tampaknya Bik Yati
memandang sosok bapakku.
Apalagi kebetulan beliau tidak memiliki
kakak laki-laki, maka Bapak seolah telah menjadi kakak kandungnya sejak puluhan
tahun silam pula. Bik Yati pun tinggal bersama Bapak dan kelima anak
perempuannya. Dua anak laki-lakinya yang paling kecil ikut menyertainya. Dengan
keterampilannya memasak dan menjahit, Bik Yati bisa memperoleh penghasilan
sendiri, bukan semata-mata nunut tinggal di rumah kakak sepupunya. Sesekali Bik
Yati pergi menjenguk anak-anak yang tinggal bersama kerabatnya, dan jika
liburan tiba, anak-anaklah yang biasanya datang ke rumah paman mereka menemui
ibunya. Biarpun dengan banyak keterbatasan, Bik Yati merasa bahagia dan begitu
mensyukuri hidup apa adanya.
Belum ada dua tahun sejak suaminya meninggal,
Bik Yati kembali menghadapi sebuah cobaan. Anak ketiganya yang bernama Cahyo
mengalami kecelakaan lalu lintas sepulangnya dari sekolah dan dijemput malaikat
maut untuk kembali ke haribaan Tuhan. Hidup memang mesti terus berputar. Bik
Yati pun pulang ke rumah Bapak lagi setelah mengantarkan jasad sang putra ke
tempat peristirahatan terakhirnya.
***
Lima tahun sesudah Bik Yati tinggal di rumah kakak
sepupunya, Bapak berniat untuk menikah lagi. Ada seorang gadis yang usianya dua
puluh tahun lebih muda ketimbang bapakku bersedia dinikahi oleh duda beranak
lima. Bik Yati pernah berjanji pada Bapak untuk pergi seandainya kakak
sepupunya tersebut kembali menemukan jodohnya. Toh, para kemenakannya akan
memiliki ibu yang baru. Namun Bapak tidak setuju dan justru calon istri baru
Bapak yang meminta Bik Yati untuk tetap tinggal bersama mereka. Gadis yang
akhirnya dinikahi Bapak memberinya dua anak lagi, seorang perempuan dan seorang
laki-laki. Nah, anak bungsu Bapak itulah diriku.
Seperti halnya keenam kakak perempuanku, aku
pun merasakan kasih sayang tulus Bik Yati di kala masih sangat kecil. Ibuku
bekerja di suatu kantor, sehingga setelah masa cuti melahirkannya habis, Bik
Yatilah yang kemudian mengasuhku di rumah. Biasanya Ibu masih sempat
memandikanku saat pagi dan juga sore, namun selebihnya menjadi tugas Bik Yati
untuk merawatku. Beliau pula yang mengantar jemput aku ketika mulai bersekolah
di taman kanak-kanak. Barangkali ada masanya hubungan personalku malah lebih
hangat dengan Bik Yati ketimbang dengan ibuku sendiri.
Satu hal yang sangat khas dari Bik Yati
adalah gaya berbusananya. Beliau merupakan perempuan yang masih sangat memegang
teguh tradisi. Hal itu dibuktikannya dengan senantiasa mengenakan sanggul,
kebaya, dan kain batik seperti halnya perempuan Jawa jaman baheula. Ketika
mereka yang sebaya dengannya sudah mulai mengenakan rok, Bik Yati tetap setia
dengan busana tradisionalnya. Setelah cukup lanjut usia, barulah Bik Yati
jarang menggunakan kebaya dan kain lagi. Beliau bersedia juga memakai rok
karena merasa lebih praktis dan tidak merepotkan dirinya sendiri.
Sekian tahun berjalan, keempat anak Bik Yati
yang telah bekerja satu demi satu melepas masa lajangnya dan memiliki rumah
sendiri, kendati sebagian masih mengontrak. Bik Yati pun akhirnya benar-benar
meninggalkan rumah Bapak. Tiada yang tak sedih ketika kami melepas kepergian
Bik Yati.
“Tapi Bik Yati masih akan kembali ke rumah
ini lagi kan?” tanyaku yang masih berusia empat tahun – jika aku tak salah
ingat – sembari menahan tangisan.
“Tentu saja Bik Yati kadangkala akan selalu
pulang kemari, Nak. Kalian semua jadilah anak yang pintar dan berbakti pada
orang tua ya,” ucap Bik Yati yang dijemput Mas Ari, anak pertamanya. Aku dan
segenap kakakku dipeluk bergantian oleh Bik Yati. Lambaian tangan kami untuk
beliau disertai dengan sedu sedan.
Bik Yati kemudian tinggal bersama Mas Ari
yang memilih tinggal di kota tempat beliau dahulu berasal. Secara berkala Bik
Yati mengunjungi rumah anak-anaknya yang lain dan tinggal di sana selama sekian
waktu tertentu. Tampaknya sukacita nan sejati kembali dapat dirasakan perempuan
tersebut. Begitulah kesan yang kutangkap setiap kali Bik Yati datang ke rumah
kami. Beliau senantiasa antusias menceritakan anak cucunya dengan senyum tawa
dan mata berbinar-binar.
***
Setelah Bik Yati beranjak tua, keempat anak lelakinya
yang tersisa justru lebih dahulu dipanggil Ilahi. Mas Ari, anak pertama Bik
Yati semula menderita gangguan jantung dan bahkan sempat dirawat di sebuah
rumah sakit di Yogyakarta. Maka ketika ia sudah sembuh, sebelum kembali ke
kotanya, Bik Yati dan keluarga anak sulungnya sempat singgah di rumah kami. Aku
masih sangat mengingatnya lantaran waktu itu aku baru saja dikhitan. Kehadiran
banyak kerabatku membuat hatiku mendapat hiburan tersendiri. Namun kurang dari
sebulan sehabis itu, Mas Ari kembali mendapat serangan jantung dan nyawanya tak
tertolong lagi.
Yang membuat Bik Yati semakin bersedih, anak
sulungnya tersebut ternyata memiliki istri simpanan yang tidak pernah diketahui
oleh ibunya sendiri, apalagi oleh istrinya yang sah. Bik Yati sangat memahami
betapa kecewanya sang menantu oleh ulah putranya. Beruntunglah istri almarhum
yang jelas begitu pedih hatinya tetap menerima Bik Yati tanpa catatan, bahkan
sudah menganggapnya persis seperti ibu kandungnya sendiri, bukan sekadar ibu
mertuanya.
Selang delapan tahun berikutnya giliran Mas
Endro, anak bungsu Bik Yati yang meninggal dunia. Sama halnya dengan kakak
tertuanya, ia pun terkena serangan jantung. Yang berbeda, sebelumnya tidak
banyak yang tahu bahwa Mas Endro memiliki masalah di jantungnya. Bik Yati
sendiri sangat terkejut dengan kenyataan yang ada, kendati paham bahwa ikhlas
menerimanya adalah pilihan sikap terbaiknya. Apalagi anak-anak Mas Endro masih
sangat kecil ketika ayahnya tiada. Bik Yati memutuskan menemani istri almarhum
dan kedua cucunya. Namun beliau masih menyempatkan diri mendatangi tempat
tinggal anaknya yang lain. Di antara semua anak Bik Yati, Mas Endro merupakan
sosok yang paling kukenal dekat lantaran dialah yang paling lama tinggal
bersama keluarga kami. Aku pun turut kehilangan sosoknya yang humoris dan
begitu menyenangkan setiap kami bercengkrama bersama.
Kira-kira lima tahun kemudian datanglah
cobaan lainnya. Mas Danang, anak keempat Bik Yati terkena stroke. Nyawanya masih dapat diselamatkan, namun sebagian tubuhnya
lumpuh. Istri Mas Danang meminta Bik Yati tinggal bersama mereka untuk
menemaninya merawat sang suami. Kebetulan Mas Danang dan keluarganya tinggal
jauh di Pekanbaru. Bik Yati menyanggupi hal itu dengan bergegas meninggalkan
pulau Jawa. Dengan sabar dan tegar beliau membantu meringankan beban putra
tercintanya yang hidupnya tak sama lagi dengan sebelumnya.
Bik Yati cukup lama berada di Pekanbaru dan
sempat hanya sekali setahun pulang ke Jawa menjenguk anak cucu lainnya. Kondisi
kesehatan Mas Danang sendiri berangsur membaik, biarpun tak bisa kembali
seperti sediakala. Bik Yati waktu itu belum lama berada di rumah Mas Danang
lagi, setelah anak keempatnya tersebut terkena stroke untuk ketiga kalinya. Beliau diminta untuk segera datang ke
Jakarta, tempat Mas Bayu, anak keduanya tinggal. Bik Yati sudah memiliki
firasat bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Ternyata Mas Bayu pergi untuk
selamanya secara mendadak ketika sedang berada di sebuah toko. Boleh dikata,
Mas Bayu merupakan putra Bik Yati yang paling sehat dan tidak memiliki riwayat
penyakit yang serius seperti saudara-saudaranya. Namun Tuhan berkenan untuk
kembali memberikan kejutan bagi Bik Yati. Setelah wafatnya Mas Bayu, Bik Yati
kembali berduka karena istri dan anak-anak almarhum lantas bagaikan
menghilangkan diri.
Mereka pindah dari rumah yang dulu sering
dikunjungi Bik Yati tanpa memberitahu siapa pun. Beliau hanya mampu berdoa
untuk kebaikan menantu dan cucunya dari Mas Bayu tanpa dapat menemui mereka
kembali hingga akhir hayatnya. Di tahun berikutnya, Mas Danang yang sudah
sekian lama invalid akhirnya kembali
kepada Yang Mahakuasa pula. Bik Yati pun menjadi ibu seorang diri tanpa
memiliki anak-anak lagi. Tinggal ketiga menantu dan sejumlah cucunya yang setia
menemani masa tuanya.
Tak terbayang begitu berat cobaan-Nya untuk
seorang Bik Yati sesungguhnya, yang ternyata tetap tenang menjalani itu semua,
sampai ajalnya tiba pada sebuah senja. Aku yakin keikhlasan dan ketegarannya
yang luar biasa tidak akan percuma di hadapan Ilahi. Demikian pula segala sikap
dan tingkah lakunya yang selalu bersahaja pun akan menjadi sesuatu yang layak
dikenang olehku maupun segenap orang yang sempat mengenalnya.
#Cerpen ini pernah dimuat di Jurnal Nasional edisi 2 September 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar