Rabu, 28 September 2016

Mengenang Bik Yati

Pernah kutempuh sebuah perjalanan di atas roda empat yang cukup jauh bersama saudara-saudara terdekatku dengan rela hati. Ratusan kilometer, belasan kota, mendung, panas, hujan, pagi, siang, petang, hingga malam tuntas dilewati dalam sehari belaka. Kami berangkat jam lima lewat tiga puluh pagi dan sampai di Yogyakarta lagi sekitar jam satu dini hari. Waktu itu kami pergi ke Brebes -sebuah kota kecil Jawa Tengah- setelah pada hari sebelumnya dikabari bahwa ada kerabat kami yang wafat. Sayang sekali, setibanya kami di tujuan, jenazah almarhumah telah dimakamkan. Kami pun hanya bisa menjumpai dua menantu beserta seorang cucunya. Terus terang aku cukup menyesal tak sempat memberi penghormatan terakhir terhadap perempuan yang sudah seperti ibu kedua bagiku tersebut. 
Yang baru meninggal dunia adalah Bik Yati, adik sepupu almarhum Bapak yang pernah menjadi pengasuhku dan seluruh kakakku ketika kami masih kecil. Bik Yati di mataku merupakan sosok perempuan lugu yang selalu tulus penuh welas asih. Beliau juga seseorang yang sangat tangguh, sabar, dan tegar. Masih kuingat banyak cerita dari mendiang Bapak maupun Ibu tentang beliau. Ketika masih muda, Bik Yati sudah ditinggal pergi sang suami untuk selamanya. Padahal ada lima anak lelaki yang menjadi tanggung jawabnya. Yang tertua berusia lima belas tahun, sementara yang termuda baru berumur tujuh tahun saat hal tersebut terjadi. Beruntunglah ada banyak saudara yang bersedia membantu meringankan beban Bik Yati, termasuk bapakku. Anak pertama hingga anak ketiga Bik Yati telah lebih dahulu diajak untuk ikut tinggal bersama paman atau bibi mereka yang lain. Tinggallah Bik Yati dengan dua anak terakhirnya yang masih berada di rumah kontrakan peninggalan mendiang suaminya.  
Bapak yang waktu itu baru kehilangan istri pertamanya -yang wafat tak lama seusai melahirkan- kemudian mengajak adik sepupunya itu untuk tinggal bersamanya. Kebetulan Bapak pun memiliki lima anak perempuan yang masih kecil hingga beranjak remaja. Maka Bik Yati pun menjadi semacam ibu pengganti bagi kakak-kakakku yang sudah barang tentu masih begitu memerlukan kasih sayang seorang ibu. Kendati sebenarnya dua saudara sepupu tidak terlarang untuk menikah, namun Bapak tidak bersedia mengawini Bik Yati, bahkan sama sekali tak terpikir di benaknya soal itu. Bagi Bapak, perempuan tersebut sudah persis seperti adik kandungnya sendiri. Sejak bocah mereka tinggal di rumah yang sama, senasib sepenanggungan, senang maupun sedih pernah dirasakan bersama dalam kurun masa yang amat lama. Sama saja tampaknya Bik Yati memandang sosok bapakku. 
Apalagi kebetulan beliau tidak memiliki kakak laki-laki, maka Bapak seolah telah menjadi kakak kandungnya sejak puluhan tahun silam pula. Bik Yati pun tinggal bersama Bapak dan kelima anak perempuannya. Dua anak laki-lakinya yang paling kecil ikut menyertainya. Dengan keterampilannya memasak dan menjahit, Bik Yati bisa memperoleh penghasilan sendiri, bukan semata-mata nunut tinggal di rumah kakak sepupunya. Sesekali Bik Yati pergi menjenguk anak-anak yang tinggal bersama kerabatnya, dan jika liburan tiba, anak-anaklah yang biasanya datang ke rumah paman mereka menemui ibunya. Biarpun dengan banyak keterbatasan, Bik Yati merasa bahagia dan begitu mensyukuri hidup apa adanya. 
Belum ada dua tahun sejak suaminya meninggal, Bik Yati kembali menghadapi sebuah cobaan. Anak ketiganya yang bernama Cahyo mengalami kecelakaan lalu lintas sepulangnya dari sekolah dan dijemput malaikat maut untuk kembali ke haribaan Tuhan. Hidup memang mesti terus berputar. Bik Yati pun pulang ke rumah Bapak lagi setelah mengantarkan jasad sang putra ke tempat peristirahatan terakhirnya. 
***

Lima tahun sesudah Bik Yati tinggal di rumah kakak sepupunya, Bapak berniat untuk menikah lagi. Ada seorang gadis yang usianya dua puluh tahun lebih muda ketimbang bapakku bersedia dinikahi oleh duda beranak lima. Bik Yati pernah berjanji pada Bapak untuk pergi seandainya kakak sepupunya tersebut kembali menemukan jodohnya. Toh, para kemenakannya akan memiliki ibu yang baru. Namun Bapak tidak setuju dan justru calon istri baru Bapak yang meminta Bik Yati untuk tetap tinggal bersama mereka. Gadis yang akhirnya dinikahi Bapak memberinya dua anak lagi, seorang perempuan dan seorang laki-laki. Nah, anak bungsu Bapak itulah diriku.  
Seperti halnya keenam kakak perempuanku, aku pun merasakan kasih sayang tulus Bik Yati di kala masih sangat kecil. Ibuku bekerja di suatu kantor, sehingga setelah masa cuti melahirkannya habis, Bik Yatilah yang kemudian mengasuhku di rumah. Biasanya Ibu masih sempat memandikanku saat pagi dan juga sore, namun selebihnya menjadi tugas Bik Yati untuk merawatku. Beliau pula yang mengantar jemput aku ketika mulai bersekolah di taman kanak-kanak. Barangkali ada masanya hubungan personalku malah lebih hangat dengan Bik Yati ketimbang dengan ibuku sendiri.
Satu hal yang sangat khas dari Bik Yati adalah gaya berbusananya. Beliau merupakan perempuan yang masih sangat memegang teguh tradisi. Hal itu dibuktikannya dengan senantiasa mengenakan sanggul, kebaya, dan kain batik seperti halnya perempuan Jawa jaman baheula. Ketika mereka yang sebaya dengannya sudah mulai mengenakan rok, Bik Yati tetap setia dengan busana tradisionalnya. Setelah cukup lanjut usia, barulah Bik Yati jarang menggunakan kebaya dan kain lagi. Beliau bersedia juga memakai rok karena merasa lebih praktis dan tidak merepotkan dirinya sendiri.
Sekian tahun berjalan, keempat anak Bik Yati yang telah bekerja satu demi satu melepas masa lajangnya dan memiliki rumah sendiri, kendati sebagian masih mengontrak. Bik Yati pun akhirnya benar-benar meninggalkan rumah Bapak. Tiada yang tak sedih ketika kami melepas kepergian Bik Yati.  
“Tapi Bik Yati masih akan kembali ke rumah ini lagi kan?” tanyaku yang masih berusia empat tahun – jika aku tak salah ingat – sembari menahan tangisan.
“Tentu saja Bik Yati kadangkala akan selalu pulang kemari, Nak. Kalian semua jadilah anak yang pintar dan berbakti pada orang tua ya,” ucap Bik Yati yang dijemput Mas Ari, anak pertamanya. Aku dan segenap kakakku dipeluk bergantian oleh Bik Yati. Lambaian tangan kami untuk beliau disertai dengan sedu sedan.
Bik Yati kemudian tinggal bersama Mas Ari yang memilih tinggal di kota tempat beliau dahulu berasal. Secara berkala Bik Yati mengunjungi rumah anak-anaknya yang lain dan tinggal di sana selama sekian waktu tertentu. Tampaknya sukacita nan sejati kembali dapat dirasakan perempuan tersebut. Begitulah kesan yang kutangkap setiap kali Bik Yati datang ke rumah kami. Beliau senantiasa antusias menceritakan anak cucunya dengan senyum tawa dan mata berbinar-binar. 

***

Setelah Bik Yati beranjak tua, keempat anak lelakinya yang tersisa justru lebih dahulu dipanggil Ilahi. Mas Ari, anak pertama Bik Yati semula menderita gangguan jantung dan bahkan sempat dirawat di sebuah rumah sakit di Yogyakarta. Maka ketika ia sudah sembuh, sebelum kembali ke kotanya, Bik Yati dan keluarga anak sulungnya sempat singgah di rumah kami. Aku masih sangat mengingatnya lantaran waktu itu aku baru saja dikhitan. Kehadiran banyak kerabatku membuat hatiku mendapat hiburan tersendiri. Namun kurang dari sebulan sehabis itu, Mas Ari kembali mendapat serangan jantung dan nyawanya tak tertolong lagi. 
Yang membuat Bik Yati semakin bersedih, anak sulungnya tersebut ternyata memiliki istri simpanan yang tidak pernah diketahui oleh ibunya sendiri, apalagi oleh istrinya yang sah. Bik Yati sangat memahami betapa kecewanya sang menantu oleh ulah putranya. Beruntunglah istri almarhum yang jelas begitu pedih hatinya tetap menerima Bik Yati tanpa catatan, bahkan sudah menganggapnya persis seperti ibu kandungnya sendiri, bukan sekadar ibu mertuanya. 
Selang delapan tahun berikutnya giliran Mas Endro, anak bungsu Bik Yati yang meninggal dunia. Sama halnya dengan kakak tertuanya, ia pun terkena serangan jantung. Yang berbeda, sebelumnya tidak banyak yang tahu bahwa Mas Endro memiliki masalah di jantungnya. Bik Yati sendiri sangat terkejut dengan kenyataan yang ada, kendati paham bahwa ikhlas menerimanya adalah pilihan sikap terbaiknya. Apalagi anak-anak Mas Endro masih sangat kecil ketika ayahnya tiada. Bik Yati memutuskan menemani istri almarhum dan kedua cucunya. Namun beliau masih menyempatkan diri mendatangi tempat tinggal anaknya yang lain. Di antara semua anak Bik Yati, Mas Endro merupakan sosok yang paling kukenal dekat lantaran dialah yang paling lama tinggal bersama keluarga kami. Aku pun turut kehilangan sosoknya yang humoris dan begitu menyenangkan setiap kami bercengkrama bersama.
Kira-kira lima tahun kemudian datanglah cobaan lainnya. Mas Danang, anak keempat Bik Yati terkena stroke. Nyawanya masih dapat diselamatkan, namun sebagian tubuhnya lumpuh. Istri Mas Danang meminta Bik Yati tinggal bersama mereka untuk menemaninya merawat sang suami. Kebetulan Mas Danang dan keluarganya tinggal jauh di Pekanbaru. Bik Yati menyanggupi hal itu dengan bergegas meninggalkan pulau Jawa. Dengan sabar dan tegar beliau membantu meringankan beban putra tercintanya yang hidupnya tak sama lagi dengan sebelumnya. 
Bik Yati cukup lama berada di Pekanbaru dan sempat hanya sekali setahun pulang ke Jawa menjenguk anak cucu lainnya. Kondisi kesehatan Mas Danang sendiri berangsur membaik, biarpun tak bisa kembali seperti sediakala. Bik Yati waktu itu belum lama berada di rumah Mas Danang lagi, setelah anak keempatnya tersebut terkena stroke untuk ketiga kalinya. Beliau diminta untuk segera datang ke Jakarta, tempat Mas Bayu, anak keduanya tinggal. Bik Yati sudah memiliki firasat bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Ternyata Mas Bayu pergi untuk selamanya secara mendadak ketika sedang berada di sebuah toko. Boleh dikata, Mas Bayu merupakan putra Bik Yati yang paling sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit yang serius seperti saudara-saudaranya. Namun Tuhan berkenan untuk kembali memberikan kejutan bagi Bik Yati. Setelah wafatnya Mas Bayu, Bik Yati kembali berduka karena istri dan anak-anak almarhum lantas bagaikan menghilangkan diri.
Mereka pindah dari rumah yang dulu sering dikunjungi Bik Yati tanpa memberitahu siapa pun. Beliau hanya mampu berdoa untuk kebaikan menantu dan cucunya dari Mas Bayu tanpa dapat menemui mereka kembali hingga akhir hayatnya. Di tahun berikutnya, Mas Danang yang sudah sekian lama invalid akhirnya kembali kepada Yang Mahakuasa pula. Bik Yati pun menjadi ibu seorang diri tanpa memiliki anak-anak lagi. Tinggal ketiga menantu dan sejumlah cucunya yang setia menemani masa tuanya.  

Tak terbayang begitu berat cobaan-Nya untuk seorang Bik Yati sesungguhnya, yang ternyata tetap tenang menjalani itu semua, sampai ajalnya tiba pada sebuah senja. Aku yakin keikhlasan dan ketegarannya yang luar biasa tidak akan percuma di hadapan Ilahi. Demikian pula segala sikap dan tingkah lakunya yang selalu bersahaja pun akan menjadi sesuatu yang layak dikenang olehku maupun segenap orang yang sempat mengenalnya.

#Cerpen ini pernah dimuat di Jurnal Nasional edisi 2 September 2012.

Tidak ada komentar: