Cerpen Luhur Satya Pambudi (NUSANTARANEWS.CO, 10 September 2016)
Kiranya masih
ada tugas yang mesti kutunaikan, sebelum mataku terpejam tak bisa dibuka lagi.
Warugaku memang tak sekukuh dahulu, namun mesti tetap kujaga semangat
berkaryaku di atas buana. Toh, masih sangat baik kinerja benakku. Masih mampu
pula kulangkahkan kaki ke mana saja kumau, asalkan tak terlampau jauh.
Entahlah, tak terlalu kupahami bagaimana warga di sekitar tempat tinggalku
akhirnya bisa mempercayai kata-kataku. Nyatanya, banyak yang datang sekadar bertanya, lalu kujawab sebatas yang
kumengerti. Seandainya ada di antara mereka yang tahu riwayat hidup diri ini
sejatinya, bisa jadi tiada yang sudi mendengarkan ujaranku. Bersukacitalah
aku lantaran mampu mengambil pelajaran dari sejarah hidupku dan terus-menerus
merevisi diri. Legalah jua aku karena tampaknya tak seorang pun di sini yang
tahu masa silamku yang pernah sangat cemerlang, namun juga sempat begitu pekat.
***
Silakan mereka
yang telah membenci akan semakin tak bersimpati terhadapku. Silakan jua mereka
yang menuduhku seakan lelaki pengecut yang tak bertanggung jawab. Mereka tentu
tak peduli perasaan sejumlah orang yang tak boleh lebih dalam lagi kulukai. Masih belum kutemukan formula yang tepat
demi memulihkan pedih hati mereka yang kusayangi dan menyayangiku, terutama
ayah ibuku beserta anak-anakku dari dua perempuan berbeda. Mesti kurelakan diri
memperoleh stigma dari publik sebagai sosok hitam yang tak layak menjadi tokoh
anutan lagi, bahkan tak pantas pula diampuni. Seolah tiada yang berarti dari
sosok putih bersihku selama ini.
Sekejab, diri ini mengenang masa keterpurukan
sekitar tiga puluh tahun berselang. Sama sekali tak kuduga, lelikuan jalan yang kulewati bakal serupa itu. Pernah aku begitu yakin bahwa tiada yang
salah dengan segala polahku. Coba, apakah yang tak tepat dari dua sejoli yang
tengah saling mengungkapkan cintanya nan suci? Jika kalian tahu ada lebih dari
satu perempuan yang bersamaku, aku percaya mereka sudi menyerahkan dirinya
lantaran jatuh hati kepadaku. Memang sungguh maut rayuanku waktu itu. Tentu
kucintai mereka pula di saat berbeda, kemudian selalu berhasil kubuat mereka
melayang serasa bidadari paling bahagia di surga. Kesalahan terbesarku,
barangkali lantaran aku tinggal di sebuah negeri yang orang-orangnya -kendati
tak semua- percaya masih adanya norma dalam setiap hubungan cinta sepasang
kekasih. Padahal yang signifikan bagiku, cinta itu urusan personal
masing-masing pemilik hati, dan selama ada cinta, terserah mereka mau
mengerjakan apa. Tak sudilah aku mesti dibatasi segenap aturan dari masa silam
yang hanya membelenggu langkahku, yang selalu ingin bebas menjelajahi eloknya
dunia dan kaum hawa. Memang pernah terpaksa kuturuti apa kata mereka yang taat
norma, namun aku berontak hingga dapat melepaskan diri dari segala yang
mengekangku. Kiranya terlalu nikmat diri ini berlarian kesana kemari, terlena
lantaran selalu nyaman terasa, tak lagi memerhatikan jalan, hingga terantuk
batu, dan terjungkallah aku selanjutnya.
Kisahku telah menjadi pengetahuan publik
sepenuhnya, sepanjang mereka yang paling tidak bisa membaca koran, memirsa
televisi, atau menjelajahi dunia maya. Maka mesti kutanggung kesalahanku
sebagai lelaki yang telanjur terkenal di seluruh penjuru negeri. Andaikan diri
ini bukan bintang yang tengah terang bersinar, apa pun yang kujalani bersama
para bidadari pastilah tak akan mendapatkan perhatian sesiapa. Biarlah bintang
itu redup kini, tapi jika aku memang bintang sejati, suatu waktu kelak niscaya
bersinar lagi, kendati entah apakah mampu seterang dahulu kala.
***
Menjadi manusia yang laksana berselimut cahaya,
yang membuat pandangan orang-orang senantiasa tertuju kepadanya, pernah membuat
hatiku teramat bungah, hari-hariku sarat berkah, tapi telah menyesatkanku
sedemikian jauhnya tanpa kusadari. Begitu sakit terasa jiwa raga setelah
terpuruk jatuh, sementara sinar yang semula seolah melingkupi diri ini lambat
laun meredup sampai padam. Menjadi bintang, kiranya tak bakal kupilih jalan
untuk meraihnya kembali. Biarlah hal itu menjadi salah satu lembaran biasa
dalam biografiku belaka pada saatnya nanti.
Sama sekali tak kupahami bahwa secara sadar telah
kupilih jalan menuju kehancuran, ketika membiarkan diri ini dikuasai nafsu
birahi seutuhnya. Padahal ternyata hal itu tak dapat dipadamkan dengan melampiaskannya,
bahkan justru bagaikan mematikan nyala api dengan menyiramkan minyak. Naif
sekali tak kupahami hal sesederhana itu. Maka menjadi lelaki bersahaja, itulah
yang akan kupilih kiranya waktu masih memberiku kesempatan melangkah di jalan
baru.
Bagaimana aku bisa berada di sini, di tempat yang
semua orang mengenalku sebagai lelaki tua bijaksana, sementara tiada yang tahu
masa mudaku, yang pernah menjadi bintang kejora dan kemudian lenyap dari
peredaran alam semesta? Panjang nian cerita sesungguhnya, tapi akan kusingkat
saja supaya kalian tak jenuh menyimaknya. Jadi, sehabis sekian tahun kulewatkan
masa hukuman, aku menjauhkan diri dari publik yang pernah sangat mengenalku,
yang pernah mengangkat sekaligus menjatuhkan derajatku. Ayah ibuku telah tiada
manakala diri ini tinggal di balik jeruji besi. Hanya dalam hitungan bulan,
mereka pergi selamanya laksana berjalan beriringan belaka. Belum berhasil
kusembuhkan hati mereka yang kadung remuk redam berkat ulahku. Dan benarlah
adanya, sesal kemudian memang sia-sia semata.
Aku percaya, setiap pendosa memiliki masa depan,
sebagaimana halnya setiap orang suci pun mempunyai masa lalu, yang bisa jadi
sangat pekat. Maka secara mantap kuputuskan pergi dari negeri yang telah
memberiku segalanya dengan membawa bekal secukupnya, supaya aku mampu melangkah
sejauh mungkin. Anak-anakku tercinta, kubiarkan mereka tinggal bersama ibunya
masing-masing, yang sanggup menjadi orangtua terbaik bagi mereka. Aku sadar
sepenuhnya bukanlah ayah yang patut diteladani. Kekasihku yang pernah sangat
setia ternyata memilih menjauhkan diri dari hal ihwal duniawi. Sudah tentu tak
akan kuusik hidupnya kembali, kendati dialah bidadariku nan sejati ketika kami
bersama dalam kurun waktu berlalu. Kurelakan saja anugerah terindah yang pernah
kumiliki itu lenyap dari hidupku.
Benar-benar diri ini akhirnya menjelajahi buana,
tapi sebatas menikmati indahnya dari sudut berbeda. Dahulu kala sudah pernah
kureguk segala wujud kenikmatan duniawi dan tak sudi diri ini kembali tergoda.
Manusia yang terlalu banyak memiliki segala hal kerap tak dapat menghargai
-bahkan sekadar menyadari- apa yang dimilikinya. Tetap terus kuayunkan langkah
dari masa ke masa, hanya demi menemukan jiwa yang tenang dan hati nan tenteram,
dua hal yang sejatinya senantiasa bersemayam dalam diri. Hingga akhirnya di
sebuah desa terpencil yang letaknya begitu jauh dari tanah kelahiranku,
kuputuskan mengakhiri ekspedisi dan tinggal menetap. Rasanya di sinilah baru
kujumpai apa yang selama ini kucari. Jika sedari dahulu kupahami bahwa segala
hal yang baik sesungguhnya berada di dalam hati, barangkali tak perlulah aku
pergi sedemikian jauhnya mengasingkan diri. Namun begitulah jalan takdir yang
mesti kutapaki. Yang jelas, sebagai pendatang yang belum mereka kenal
sebelumnya, aku cukup diterima warga setempat tanpa buruk prasangka. Sebagai
pribadi yang tengah mewujudkan sebuah identitas anyar, agaknya tepat sekali
tempat ini bagiku. Kulakukan hal-hal baru dalam hidupku dan ternyata justru
mampu kunikmati, menjadi lelaki bersahaja sejati.
Tanpa terasa dua puluh tahun lebih aku berada di
desa nan permai dengan keramahtamahan tetangga yang seolah telah menjelma
menjadi keluargaku, kendati sebenarnya sendiri belaka kutinggali sebuah gubuk.
Mereka menyayangiku apa adanya dan kusayangi mereka pula setulusnya. Perjalanan
hidupku yang panjang dan sarat lelikuan menjadikan sikap maupun kata-kataku
bisa dipercaya mengandung nilai kebaikan dan kebenaran bagi mereka. Barangkali
lantaran akal sehat serta hati nurani sudah menjadi pembimbing hidupku, bukannya
nafsu belaka seperti tempo hari. Ah, Yang Maha Penyayang begitu apik bersikap
terhadapku. Terima kasihku kepada-Nya sungguh tiada tara.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar