Jumat, 30 September 2016

Wisata Kuliner September

Tanpa rencana akan pergi ke mana, bersama siapa saja, atau bakal makan apa pula. Tetapi ternyata justru bisa menikmati lontong sate kelinci di pinggir kali yang dingin, merasakan pertama kali yang namanya sate klatak, mencicipi risol mozzarella dan steak resep terbaru tempat tetangga, melahap nikmat ingkung jawa bersama sahabat lama, membicarakan hal serius seraya makan lele bakar madu, juga diajak ke lereng merapi untuk sekadar dibelikan pie dan  menyantap bakmi godog serta wedang kacang ijo. Alhamdulillah. Terima kasih untuk semua saudara, teman, dan tetanggaku yang baik hati.

Rangkaian Kata Eksistensi Diri

Rangkaian kata dalam tiap kalimat menunjuk hatimu sendiri, sehingga kau merasa menjadi ada, tidak sendirian dalam mengarungi hidup. Tiap huruf dalam kata-katamu yang kau rajut menunjukkan arti siapa dirimu dan apa yang ingin kau raih. Maka cepat atau lambat, kau tidak akan kehilangan makna hidup.
(Annie Dillard - penyair)

Rabu, 28 September 2016

Mengenang Bik Yati

Pernah kutempuh sebuah perjalanan di atas roda empat yang cukup jauh bersama saudara-saudara terdekatku dengan rela hati. Ratusan kilometer, belasan kota, mendung, panas, hujan, pagi, siang, petang, hingga malam tuntas dilewati dalam sehari belaka. Kami berangkat jam lima lewat tiga puluh pagi dan sampai di Yogyakarta lagi sekitar jam satu dini hari. Waktu itu kami pergi ke Brebes -sebuah kota kecil Jawa Tengah- setelah pada hari sebelumnya dikabari bahwa ada kerabat kami yang wafat. Sayang sekali, setibanya kami di tujuan, jenazah almarhumah telah dimakamkan. Kami pun hanya bisa menjumpai dua menantu beserta seorang cucunya. Terus terang aku cukup menyesal tak sempat memberi penghormatan terakhir terhadap perempuan yang sudah seperti ibu kedua bagiku tersebut. 
Yang baru meninggal dunia adalah Bik Yati, adik sepupu almarhum Bapak yang pernah menjadi pengasuhku dan seluruh kakakku ketika kami masih kecil. Bik Yati di mataku merupakan sosok perempuan lugu yang selalu tulus penuh welas asih. Beliau juga seseorang yang sangat tangguh, sabar, dan tegar. Masih kuingat banyak cerita dari mendiang Bapak maupun Ibu tentang beliau. Ketika masih muda, Bik Yati sudah ditinggal pergi sang suami untuk selamanya. Padahal ada lima anak lelaki yang menjadi tanggung jawabnya. Yang tertua berusia lima belas tahun, sementara yang termuda baru berumur tujuh tahun saat hal tersebut terjadi. Beruntunglah ada banyak saudara yang bersedia membantu meringankan beban Bik Yati, termasuk bapakku. Anak pertama hingga anak ketiga Bik Yati telah lebih dahulu diajak untuk ikut tinggal bersama paman atau bibi mereka yang lain. Tinggallah Bik Yati dengan dua anak terakhirnya yang masih berada di rumah kontrakan peninggalan mendiang suaminya.  
Bapak yang waktu itu baru kehilangan istri pertamanya -yang wafat tak lama seusai melahirkan- kemudian mengajak adik sepupunya itu untuk tinggal bersamanya. Kebetulan Bapak pun memiliki lima anak perempuan yang masih kecil hingga beranjak remaja. Maka Bik Yati pun menjadi semacam ibu pengganti bagi kakak-kakakku yang sudah barang tentu masih begitu memerlukan kasih sayang seorang ibu. Kendati sebenarnya dua saudara sepupu tidak terlarang untuk menikah, namun Bapak tidak bersedia mengawini Bik Yati, bahkan sama sekali tak terpikir di benaknya soal itu. Bagi Bapak, perempuan tersebut sudah persis seperti adik kandungnya sendiri. Sejak bocah mereka tinggal di rumah yang sama, senasib sepenanggungan, senang maupun sedih pernah dirasakan bersama dalam kurun masa yang amat lama. Sama saja tampaknya Bik Yati memandang sosok bapakku. 
Apalagi kebetulan beliau tidak memiliki kakak laki-laki, maka Bapak seolah telah menjadi kakak kandungnya sejak puluhan tahun silam pula. Bik Yati pun tinggal bersama Bapak dan kelima anak perempuannya. Dua anak laki-lakinya yang paling kecil ikut menyertainya. Dengan keterampilannya memasak dan menjahit, Bik Yati bisa memperoleh penghasilan sendiri, bukan semata-mata nunut tinggal di rumah kakak sepupunya. Sesekali Bik Yati pergi menjenguk anak-anak yang tinggal bersama kerabatnya, dan jika liburan tiba, anak-anaklah yang biasanya datang ke rumah paman mereka menemui ibunya. Biarpun dengan banyak keterbatasan, Bik Yati merasa bahagia dan begitu mensyukuri hidup apa adanya. 
Belum ada dua tahun sejak suaminya meninggal, Bik Yati kembali menghadapi sebuah cobaan. Anak ketiganya yang bernama Cahyo mengalami kecelakaan lalu lintas sepulangnya dari sekolah dan dijemput malaikat maut untuk kembali ke haribaan Tuhan. Hidup memang mesti terus berputar. Bik Yati pun pulang ke rumah Bapak lagi setelah mengantarkan jasad sang putra ke tempat peristirahatan terakhirnya. 
***

Lima tahun sesudah Bik Yati tinggal di rumah kakak sepupunya, Bapak berniat untuk menikah lagi. Ada seorang gadis yang usianya dua puluh tahun lebih muda ketimbang bapakku bersedia dinikahi oleh duda beranak lima. Bik Yati pernah berjanji pada Bapak untuk pergi seandainya kakak sepupunya tersebut kembali menemukan jodohnya. Toh, para kemenakannya akan memiliki ibu yang baru. Namun Bapak tidak setuju dan justru calon istri baru Bapak yang meminta Bik Yati untuk tetap tinggal bersama mereka. Gadis yang akhirnya dinikahi Bapak memberinya dua anak lagi, seorang perempuan dan seorang laki-laki. Nah, anak bungsu Bapak itulah diriku.  
Seperti halnya keenam kakak perempuanku, aku pun merasakan kasih sayang tulus Bik Yati di kala masih sangat kecil. Ibuku bekerja di suatu kantor, sehingga setelah masa cuti melahirkannya habis, Bik Yatilah yang kemudian mengasuhku di rumah. Biasanya Ibu masih sempat memandikanku saat pagi dan juga sore, namun selebihnya menjadi tugas Bik Yati untuk merawatku. Beliau pula yang mengantar jemput aku ketika mulai bersekolah di taman kanak-kanak. Barangkali ada masanya hubungan personalku malah lebih hangat dengan Bik Yati ketimbang dengan ibuku sendiri.
Satu hal yang sangat khas dari Bik Yati adalah gaya berbusananya. Beliau merupakan perempuan yang masih sangat memegang teguh tradisi. Hal itu dibuktikannya dengan senantiasa mengenakan sanggul, kebaya, dan kain batik seperti halnya perempuan Jawa jaman baheula. Ketika mereka yang sebaya dengannya sudah mulai mengenakan rok, Bik Yati tetap setia dengan busana tradisionalnya. Setelah cukup lanjut usia, barulah Bik Yati jarang menggunakan kebaya dan kain lagi. Beliau bersedia juga memakai rok karena merasa lebih praktis dan tidak merepotkan dirinya sendiri.
Sekian tahun berjalan, keempat anak Bik Yati yang telah bekerja satu demi satu melepas masa lajangnya dan memiliki rumah sendiri, kendati sebagian masih mengontrak. Bik Yati pun akhirnya benar-benar meninggalkan rumah Bapak. Tiada yang tak sedih ketika kami melepas kepergian Bik Yati.  
“Tapi Bik Yati masih akan kembali ke rumah ini lagi kan?” tanyaku yang masih berusia empat tahun – jika aku tak salah ingat – sembari menahan tangisan.
“Tentu saja Bik Yati kadangkala akan selalu pulang kemari, Nak. Kalian semua jadilah anak yang pintar dan berbakti pada orang tua ya,” ucap Bik Yati yang dijemput Mas Ari, anak pertamanya. Aku dan segenap kakakku dipeluk bergantian oleh Bik Yati. Lambaian tangan kami untuk beliau disertai dengan sedu sedan.
Bik Yati kemudian tinggal bersama Mas Ari yang memilih tinggal di kota tempat beliau dahulu berasal. Secara berkala Bik Yati mengunjungi rumah anak-anaknya yang lain dan tinggal di sana selama sekian waktu tertentu. Tampaknya sukacita nan sejati kembali dapat dirasakan perempuan tersebut. Begitulah kesan yang kutangkap setiap kali Bik Yati datang ke rumah kami. Beliau senantiasa antusias menceritakan anak cucunya dengan senyum tawa dan mata berbinar-binar. 

***

Setelah Bik Yati beranjak tua, keempat anak lelakinya yang tersisa justru lebih dahulu dipanggil Ilahi. Mas Ari, anak pertama Bik Yati semula menderita gangguan jantung dan bahkan sempat dirawat di sebuah rumah sakit di Yogyakarta. Maka ketika ia sudah sembuh, sebelum kembali ke kotanya, Bik Yati dan keluarga anak sulungnya sempat singgah di rumah kami. Aku masih sangat mengingatnya lantaran waktu itu aku baru saja dikhitan. Kehadiran banyak kerabatku membuat hatiku mendapat hiburan tersendiri. Namun kurang dari sebulan sehabis itu, Mas Ari kembali mendapat serangan jantung dan nyawanya tak tertolong lagi. 
Yang membuat Bik Yati semakin bersedih, anak sulungnya tersebut ternyata memiliki istri simpanan yang tidak pernah diketahui oleh ibunya sendiri, apalagi oleh istrinya yang sah. Bik Yati sangat memahami betapa kecewanya sang menantu oleh ulah putranya. Beruntunglah istri almarhum yang jelas begitu pedih hatinya tetap menerima Bik Yati tanpa catatan, bahkan sudah menganggapnya persis seperti ibu kandungnya sendiri, bukan sekadar ibu mertuanya. 
Selang delapan tahun berikutnya giliran Mas Endro, anak bungsu Bik Yati yang meninggal dunia. Sama halnya dengan kakak tertuanya, ia pun terkena serangan jantung. Yang berbeda, sebelumnya tidak banyak yang tahu bahwa Mas Endro memiliki masalah di jantungnya. Bik Yati sendiri sangat terkejut dengan kenyataan yang ada, kendati paham bahwa ikhlas menerimanya adalah pilihan sikap terbaiknya. Apalagi anak-anak Mas Endro masih sangat kecil ketika ayahnya tiada. Bik Yati memutuskan menemani istri almarhum dan kedua cucunya. Namun beliau masih menyempatkan diri mendatangi tempat tinggal anaknya yang lain. Di antara semua anak Bik Yati, Mas Endro merupakan sosok yang paling kukenal dekat lantaran dialah yang paling lama tinggal bersama keluarga kami. Aku pun turut kehilangan sosoknya yang humoris dan begitu menyenangkan setiap kami bercengkrama bersama.
Kira-kira lima tahun kemudian datanglah cobaan lainnya. Mas Danang, anak keempat Bik Yati terkena stroke. Nyawanya masih dapat diselamatkan, namun sebagian tubuhnya lumpuh. Istri Mas Danang meminta Bik Yati tinggal bersama mereka untuk menemaninya merawat sang suami. Kebetulan Mas Danang dan keluarganya tinggal jauh di Pekanbaru. Bik Yati menyanggupi hal itu dengan bergegas meninggalkan pulau Jawa. Dengan sabar dan tegar beliau membantu meringankan beban putra tercintanya yang hidupnya tak sama lagi dengan sebelumnya. 
Bik Yati cukup lama berada di Pekanbaru dan sempat hanya sekali setahun pulang ke Jawa menjenguk anak cucu lainnya. Kondisi kesehatan Mas Danang sendiri berangsur membaik, biarpun tak bisa kembali seperti sediakala. Bik Yati waktu itu belum lama berada di rumah Mas Danang lagi, setelah anak keempatnya tersebut terkena stroke untuk ketiga kalinya. Beliau diminta untuk segera datang ke Jakarta, tempat Mas Bayu, anak keduanya tinggal. Bik Yati sudah memiliki firasat bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Ternyata Mas Bayu pergi untuk selamanya secara mendadak ketika sedang berada di sebuah toko. Boleh dikata, Mas Bayu merupakan putra Bik Yati yang paling sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit yang serius seperti saudara-saudaranya. Namun Tuhan berkenan untuk kembali memberikan kejutan bagi Bik Yati. Setelah wafatnya Mas Bayu, Bik Yati kembali berduka karena istri dan anak-anak almarhum lantas bagaikan menghilangkan diri.
Mereka pindah dari rumah yang dulu sering dikunjungi Bik Yati tanpa memberitahu siapa pun. Beliau hanya mampu berdoa untuk kebaikan menantu dan cucunya dari Mas Bayu tanpa dapat menemui mereka kembali hingga akhir hayatnya. Di tahun berikutnya, Mas Danang yang sudah sekian lama invalid akhirnya kembali kepada Yang Mahakuasa pula. Bik Yati pun menjadi ibu seorang diri tanpa memiliki anak-anak lagi. Tinggal ketiga menantu dan sejumlah cucunya yang setia menemani masa tuanya.  

Tak terbayang begitu berat cobaan-Nya untuk seorang Bik Yati sesungguhnya, yang ternyata tetap tenang menjalani itu semua, sampai ajalnya tiba pada sebuah senja. Aku yakin keikhlasan dan ketegarannya yang luar biasa tidak akan percuma di hadapan Ilahi. Demikian pula segala sikap dan tingkah lakunya yang selalu bersahaja pun akan menjadi sesuatu yang layak dikenang olehku maupun segenap orang yang sempat mengenalnya.

#Cerpen ini pernah dimuat di Jurnal Nasional edisi 2 September 2012.

Selasa, 27 September 2016

Arah Angin

Kita tidak bisa mengubah arah angin. Tetapi kita bisa menyesuaikan layar-layar kita supaya sampai ke tujuan. (Paulo Coelho)

Sabtu, 24 September 2016

Harapan dan Kekecewaan

Ketika sejumlah harapan tak kunjung kesampaian, layaklah jika hadir kekecewaan. Namun pada lain kesempatan, Tuhan justru kerap memberikan anugerah dan rezeki tak terduga yang lebih bermakna, bahkan jauh melebihi asa kita.

Sabtu, 17 September 2016

Debu Hanya Tanda Angin

Debu hanya tanda adanya angin :
angin itulah yang bernilai...
Mata tanah-liat hanya menatap debu;
melihat angin perlu mata yang lain.

(Jalaluddin Rumi)

Kamis, 15 September 2016

Musim Semi

Kata orang, musim semi adalah seperti anak perempuan yang sedang naik dewasa. Manja, gampang merajuk, dan sebentar-sebentar berganti sikap. 
(Umar Kayam dalam cerpen "Kimono Biru buat Istri")

Mencurigai

Mencurigai. Betapa tidak enaknya perbuatan ini. Bahkan terhadap orang yang patut dicurigai sekalipun. Mencurigai sepertinya mengungkit nilai-nilai negatif yang sebenarnya tertanam dalam pengalaman batin kita sendiri. 
(Jujur Prananto dalam cerpen "Parmin")

Selasa, 13 September 2016

Balada Bintang yang Telah Padam

Cerpen Luhur Satya Pambudi (NUSANTARANEWS.CO, 10 September 2016)

Kiranya masih ada tugas yang mesti kutunaikan, sebelum mataku terpejam tak bisa dibuka lagi. Warugaku memang tak sekukuh dahulu, namun mesti tetap kujaga semangat berkaryaku di atas buana. Toh, masih sangat baik kinerja benakku. Masih mampu pula kulangkahkan kaki ke mana saja kumau, asalkan tak terlampau jauh. Entahlah, tak terlalu kupahami bagaimana warga di sekitar tempat tinggalku akhirnya bisa mempercayai kata-kataku. Nyatanya, banyak yang datang sekadar bertanya, lalu kujawab sebatas yang kumengerti. Seandainya ada di antara mereka yang tahu riwayat hidup diri ini sejatinya, bisa jadi tiada yang sudi mendengarkan ujaranku. Bersukacitalah aku lantaran mampu mengambil pelajaran dari sejarah hidupku dan terus-menerus merevisi diri. Legalah jua aku karena tampaknya tak seorang pun di sini yang tahu masa silamku yang pernah sangat cemerlang, namun juga sempat begitu pekat.

***
Silakan mereka yang telah membenci akan semakin tak bersimpati terhadapku. Silakan jua mereka yang menuduhku seakan lelaki pengecut yang tak bertanggung jawab. Mereka tentu tak peduli perasaan sejumlah orang yang tak boleh lebih dalam lagi kulukai. Masih belum kutemukan formula yang tepat demi memulihkan pedih hati mereka yang kusayangi dan menyayangiku, terutama ayah ibuku beserta anak-anakku dari dua perempuan berbeda. Mesti kurelakan diri memperoleh stigma dari publik sebagai sosok hitam yang tak layak menjadi tokoh anutan lagi, bahkan tak pantas pula diampuni. Seolah tiada yang berarti dari sosok putih bersihku selama ini.

Sekejab, diri ini mengenang masa keterpurukan sekitar tiga puluh tahun berselang. Sama sekali tak kuduga, lelikuan jalan yang kulewati bakal serupa itu. Pernah aku begitu yakin bahwa tiada yang salah dengan segala polahku. Coba, apakah yang tak tepat dari dua sejoli yang tengah saling mengungkapkan cintanya nan suci? Jika kalian tahu ada lebih dari satu perempuan yang bersamaku, aku percaya mereka sudi menyerahkan dirinya lantaran jatuh hati kepadaku. Memang sungguh maut rayuanku waktu itu. Tentu kucintai mereka pula di saat berbeda, kemudian selalu berhasil kubuat mereka melayang serasa bidadari paling bahagia di surga. Kesalahan terbesarku, barangkali lantaran aku tinggal di sebuah negeri yang orang-orangnya -kendati tak semua- percaya masih adanya norma dalam setiap hubungan cinta sepasang kekasih. Padahal yang signifikan bagiku, cinta itu urusan personal masing-masing pemilik hati, dan selama ada cinta, terserah mereka mau mengerjakan apa. Tak sudilah aku mesti dibatasi segenap aturan dari masa silam yang hanya membelenggu langkahku, yang selalu ingin bebas menjelajahi eloknya dunia dan kaum hawa. Memang pernah terpaksa kuturuti apa kata mereka yang taat norma, namun aku berontak hingga dapat melepaskan diri dari segala yang mengekangku. Kiranya terlalu nikmat diri ini berlarian kesana kemari, terlena lantaran selalu nyaman terasa, tak lagi memerhatikan jalan, hingga terantuk batu, dan terjungkallah aku selanjutnya.
           
Kisahku telah menjadi pengetahuan publik sepenuhnya, sepanjang mereka yang paling tidak bisa membaca koran, memirsa televisi, atau menjelajahi dunia maya. Maka mesti kutanggung kesalahanku sebagai lelaki yang telanjur terkenal di seluruh penjuru negeri. Andaikan diri ini bukan bintang yang tengah terang bersinar, apa pun yang kujalani bersama para bidadari pastilah tak akan mendapatkan perhatian sesiapa. Biarlah bintang itu redup kini, tapi jika aku memang bintang sejati, suatu waktu kelak niscaya bersinar lagi, kendati entah apakah mampu seterang dahulu kala.

***
Menjadi manusia yang laksana berselimut cahaya, yang membuat pandangan orang-orang senantiasa tertuju kepadanya, pernah membuat hatiku teramat bungah, hari-hariku sarat berkah, tapi telah menyesatkanku sedemikian jauhnya tanpa kusadari. Begitu sakit terasa jiwa raga setelah terpuruk jatuh, sementara sinar yang semula seolah melingkupi diri ini lambat laun meredup sampai padam. Menjadi bintang, kiranya tak bakal kupilih jalan untuk meraihnya kembali. Biarlah hal itu menjadi salah satu lembaran biasa dalam biografiku belaka pada saatnya nanti.

Sama sekali tak kupahami bahwa secara sadar telah kupilih jalan menuju kehancuran, ketika membiarkan diri ini dikuasai nafsu birahi seutuhnya. Padahal ternyata hal itu tak dapat dipadamkan dengan melampiaskannya, bahkan justru bagaikan mematikan nyala api dengan menyiramkan minyak. Naif sekali tak kupahami hal sesederhana itu. Maka menjadi lelaki bersahaja, itulah yang akan kupilih kiranya waktu masih memberiku kesempatan melangkah di jalan baru.
           
Bagaimana aku bisa berada di sini, di tempat yang semua orang mengenalku sebagai lelaki tua bijaksana, sementara tiada yang tahu masa mudaku, yang pernah menjadi bintang kejora dan kemudian lenyap dari peredaran alam semesta? Panjang nian cerita sesungguhnya, tapi akan kusingkat saja supaya kalian tak jenuh menyimaknya. Jadi, sehabis sekian tahun kulewatkan masa hukuman, aku menjauhkan diri dari publik yang pernah sangat mengenalku, yang pernah mengangkat sekaligus menjatuhkan derajatku. Ayah ibuku telah tiada manakala diri ini tinggal di balik jeruji besi. Hanya dalam hitungan bulan, mereka pergi selamanya laksana berjalan beriringan belaka. Belum berhasil kusembuhkan hati mereka yang kadung remuk redam berkat ulahku. Dan benarlah adanya, sesal kemudian memang sia-sia semata.

Aku percaya, setiap pendosa memiliki masa depan, sebagaimana halnya setiap orang suci pun mempunyai masa lalu, yang bisa jadi sangat pekat. Maka secara mantap kuputuskan pergi dari negeri yang telah memberiku segalanya dengan membawa bekal secukupnya, supaya aku mampu melangkah sejauh mungkin. Anak-anakku tercinta, kubiarkan mereka tinggal bersama ibunya masing-masing, yang sanggup menjadi orangtua terbaik bagi mereka. Aku sadar sepenuhnya bukanlah ayah yang patut diteladani. Kekasihku yang pernah sangat setia ternyata memilih menjauhkan diri dari hal ihwal duniawi. Sudah tentu tak akan kuusik hidupnya kembali, kendati dialah bidadariku nan sejati ketika kami bersama dalam kurun waktu berlalu. Kurelakan saja anugerah terindah yang pernah kumiliki itu lenyap dari hidupku.

Benar-benar diri ini akhirnya menjelajahi buana, tapi sebatas menikmati indahnya dari sudut berbeda. Dahulu kala sudah pernah kureguk segala wujud kenikmatan duniawi dan tak sudi diri ini kembali tergoda. Manusia yang terlalu banyak memiliki segala hal kerap tak dapat menghargai -bahkan sekadar menyadari- apa yang dimilikinya. Tetap terus kuayunkan langkah dari masa ke masa, hanya demi menemukan jiwa yang tenang dan hati nan tenteram, dua hal yang sejatinya senantiasa bersemayam dalam diri. Hingga akhirnya di sebuah desa terpencil yang letaknya begitu jauh dari tanah kelahiranku, kuputuskan mengakhiri ekspedisi dan tinggal menetap. Rasanya di sinilah baru kujumpai apa yang selama ini kucari. Jika sedari dahulu kupahami bahwa segala hal yang baik sesungguhnya berada di dalam hati, barangkali tak perlulah aku pergi sedemikian jauhnya mengasingkan diri. Namun begitulah jalan takdir yang mesti kutapaki. Yang jelas, sebagai pendatang yang belum mereka kenal sebelumnya, aku cukup diterima warga setempat tanpa buruk prasangka. Sebagai pribadi yang tengah mewujudkan sebuah identitas anyar, agaknya tepat sekali tempat ini bagiku. Kulakukan hal-hal baru dalam hidupku dan ternyata justru mampu kunikmati, menjadi lelaki bersahaja sejati.

Tanpa terasa dua puluh tahun lebih aku berada di desa nan permai dengan keramahtamahan tetangga yang seolah telah menjelma menjadi keluargaku, kendati sebenarnya sendiri belaka kutinggali sebuah gubuk. Mereka menyayangiku apa adanya dan kusayangi mereka pula setulusnya. Perjalanan hidupku yang panjang dan sarat lelikuan menjadikan sikap maupun kata-kataku bisa dipercaya mengandung nilai kebaikan dan kebenaran bagi mereka. Barangkali lantaran akal sehat serta hati nurani sudah menjadi pembimbing hidupku, bukannya nafsu belaka seperti tempo hari. Ah, Yang Maha Penyayang begitu apik bersikap terhadapku. Terima kasihku kepada-Nya sungguh tiada tara.

Andaikan masih mungkin, inginku kembali sejenak ke tempat kelahiranku sekadar mau tahu bagaimana kabar anak-anakku. Mereka pasti sudah dewasa dan mungkin telah beranak pinak. Hmm, bisa jadi diri ini malah sudah menjadi seorang kakek sekarang. Namun tiada lagi harta yang berlimpah ruah. Segala yang kumiliki tampaknya tak bakal mencukupi biaya perjalananku ke seberang lautan untuk pulang. Di sini tak kuperlukan uang banyak agar bisa hidup layak. Itulah yang selama ini kujalani dan membuat hidupku terasa berarti lagi. Lebih baik tak perlu kupaksakan pergi. Sebatas kuharap anak keturunanku hidup sejahtera di belahan dunia sana, sementara aku pun baik-baik saja berada di sini. Memang aku hidup sendiri, namun tak selalu kurasakan sepi, kendati kerap sunyi menemani. Sekadar senantiasa kusyukuri apa pun situasi dan kondisi yang kuhadapi saban hari.

***

Senin, 05 September 2016

Hidup dan Mati Orang Baik

Hidup dan mati sebagai orang baik. Hal yang amat bersahaja sejatinya, namun bisa jadi tak semudah kata untuk mengejawantahkannya. 
(dikutip dari cerpen "Mengikuti Jejak Sang Paman")