Jumat, 30 September 2016
Wisata Kuliner September
Tanpa rencana akan pergi ke mana, bersama siapa saja, atau bakal makan apa pula. Tetapi ternyata justru bisa menikmati lontong sate kelinci di pinggir kali yang dingin, merasakan pertama kali yang namanya sate klatak, mencicipi risol mozzarella dan steak resep terbaru tempat tetangga, melahap nikmat ingkung jawa bersama sahabat lama, membicarakan hal serius seraya makan lele bakar madu, juga diajak ke lereng merapi untuk sekadar dibelikan pie dan menyantap bakmi godog serta wedang kacang ijo. Alhamdulillah. Terima kasih untuk semua saudara, teman, dan tetanggaku yang baik hati.
Rangkaian Kata Eksistensi Diri
Rangkaian kata dalam tiap kalimat menunjuk hatimu sendiri, sehingga kau merasa menjadi ada, tidak sendirian dalam mengarungi hidup. Tiap huruf dalam kata-katamu yang kau rajut menunjukkan arti siapa dirimu dan apa yang ingin kau raih. Maka cepat atau lambat, kau tidak akan kehilangan makna hidup.
(Annie Dillard - penyair)
(Annie Dillard - penyair)
Kamis, 29 September 2016
Rabu, 28 September 2016
Mengenang Bik Yati
Pernah kutempuh
sebuah perjalanan di atas roda empat yang cukup jauh bersama saudara-saudara
terdekatku dengan rela hati. Ratusan kilometer, belasan kota, mendung, panas,
hujan, pagi, siang, petang, hingga malam tuntas dilewati dalam sehari belaka.
Kami berangkat jam lima lewat tiga puluh pagi dan sampai di Yogyakarta lagi
sekitar jam satu dini hari. Waktu itu kami pergi ke Brebes -sebuah kota kecil
Jawa Tengah- setelah pada hari sebelumnya dikabari bahwa ada kerabat kami yang wafat.
Sayang sekali, setibanya kami di tujuan, jenazah almarhumah telah dimakamkan.
Kami pun hanya bisa menjumpai dua menantu beserta seorang cucunya. Terus terang
aku cukup menyesal tak sempat memberi penghormatan terakhir terhadap perempuan
yang sudah seperti ibu kedua bagiku tersebut.
Yang baru meninggal dunia adalah Bik Yati,
adik sepupu almarhum Bapak yang pernah menjadi pengasuhku dan seluruh kakakku
ketika kami masih kecil. Bik Yati di mataku merupakan sosok perempuan lugu yang
selalu tulus penuh welas asih. Beliau juga seseorang yang sangat tangguh,
sabar, dan tegar. Masih kuingat banyak cerita dari mendiang Bapak maupun Ibu
tentang beliau. Ketika masih muda, Bik Yati sudah ditinggal pergi sang suami
untuk selamanya. Padahal ada lima anak lelaki yang menjadi tanggung jawabnya.
Yang tertua berusia lima belas tahun, sementara yang termuda baru berumur tujuh
tahun saat hal tersebut terjadi. Beruntunglah ada banyak saudara yang bersedia
membantu meringankan beban Bik Yati, termasuk bapakku. Anak pertama hingga anak
ketiga Bik Yati telah lebih dahulu diajak untuk ikut tinggal bersama paman atau
bibi mereka yang lain. Tinggallah Bik Yati dengan dua anak terakhirnya yang
masih berada di rumah kontrakan peninggalan mendiang suaminya.
Bapak yang waktu itu baru kehilangan istri
pertamanya -yang wafat tak lama seusai melahirkan- kemudian mengajak adik
sepupunya itu untuk tinggal bersamanya. Kebetulan Bapak pun memiliki lima anak
perempuan yang masih kecil hingga beranjak remaja. Maka Bik Yati pun menjadi
semacam ibu pengganti bagi kakak-kakakku yang sudah barang tentu masih begitu
memerlukan kasih sayang seorang ibu. Kendati sebenarnya dua saudara sepupu
tidak terlarang untuk menikah, namun Bapak tidak bersedia mengawini Bik Yati,
bahkan sama sekali tak terpikir di benaknya soal itu. Bagi Bapak, perempuan
tersebut sudah persis seperti adik kandungnya sendiri. Sejak bocah mereka
tinggal di rumah yang sama, senasib sepenanggungan, senang maupun sedih pernah
dirasakan bersama dalam kurun masa yang amat lama. Sama saja tampaknya Bik Yati
memandang sosok bapakku.
Apalagi kebetulan beliau tidak memiliki
kakak laki-laki, maka Bapak seolah telah menjadi kakak kandungnya sejak puluhan
tahun silam pula. Bik Yati pun tinggal bersama Bapak dan kelima anak
perempuannya. Dua anak laki-lakinya yang paling kecil ikut menyertainya. Dengan
keterampilannya memasak dan menjahit, Bik Yati bisa memperoleh penghasilan
sendiri, bukan semata-mata nunut tinggal di rumah kakak sepupunya. Sesekali Bik
Yati pergi menjenguk anak-anak yang tinggal bersama kerabatnya, dan jika
liburan tiba, anak-anaklah yang biasanya datang ke rumah paman mereka menemui
ibunya. Biarpun dengan banyak keterbatasan, Bik Yati merasa bahagia dan begitu
mensyukuri hidup apa adanya.
Belum ada dua tahun sejak suaminya meninggal,
Bik Yati kembali menghadapi sebuah cobaan. Anak ketiganya yang bernama Cahyo
mengalami kecelakaan lalu lintas sepulangnya dari sekolah dan dijemput malaikat
maut untuk kembali ke haribaan Tuhan. Hidup memang mesti terus berputar. Bik
Yati pun pulang ke rumah Bapak lagi setelah mengantarkan jasad sang putra ke
tempat peristirahatan terakhirnya.
***
Lima tahun sesudah Bik Yati tinggal di rumah kakak
sepupunya, Bapak berniat untuk menikah lagi. Ada seorang gadis yang usianya dua
puluh tahun lebih muda ketimbang bapakku bersedia dinikahi oleh duda beranak
lima. Bik Yati pernah berjanji pada Bapak untuk pergi seandainya kakak
sepupunya tersebut kembali menemukan jodohnya. Toh, para kemenakannya akan
memiliki ibu yang baru. Namun Bapak tidak setuju dan justru calon istri baru
Bapak yang meminta Bik Yati untuk tetap tinggal bersama mereka. Gadis yang
akhirnya dinikahi Bapak memberinya dua anak lagi, seorang perempuan dan seorang
laki-laki. Nah, anak bungsu Bapak itulah diriku.
Seperti halnya keenam kakak perempuanku, aku
pun merasakan kasih sayang tulus Bik Yati di kala masih sangat kecil. Ibuku
bekerja di suatu kantor, sehingga setelah masa cuti melahirkannya habis, Bik
Yatilah yang kemudian mengasuhku di rumah. Biasanya Ibu masih sempat
memandikanku saat pagi dan juga sore, namun selebihnya menjadi tugas Bik Yati
untuk merawatku. Beliau pula yang mengantar jemput aku ketika mulai bersekolah
di taman kanak-kanak. Barangkali ada masanya hubungan personalku malah lebih
hangat dengan Bik Yati ketimbang dengan ibuku sendiri.
Satu hal yang sangat khas dari Bik Yati
adalah gaya berbusananya. Beliau merupakan perempuan yang masih sangat memegang
teguh tradisi. Hal itu dibuktikannya dengan senantiasa mengenakan sanggul,
kebaya, dan kain batik seperti halnya perempuan Jawa jaman baheula. Ketika
mereka yang sebaya dengannya sudah mulai mengenakan rok, Bik Yati tetap setia
dengan busana tradisionalnya. Setelah cukup lanjut usia, barulah Bik Yati
jarang menggunakan kebaya dan kain lagi. Beliau bersedia juga memakai rok
karena merasa lebih praktis dan tidak merepotkan dirinya sendiri.
Sekian tahun berjalan, keempat anak Bik Yati
yang telah bekerja satu demi satu melepas masa lajangnya dan memiliki rumah
sendiri, kendati sebagian masih mengontrak. Bik Yati pun akhirnya benar-benar
meninggalkan rumah Bapak. Tiada yang tak sedih ketika kami melepas kepergian
Bik Yati.
“Tapi Bik Yati masih akan kembali ke rumah
ini lagi kan?” tanyaku yang masih berusia empat tahun – jika aku tak salah
ingat – sembari menahan tangisan.
“Tentu saja Bik Yati kadangkala akan selalu
pulang kemari, Nak. Kalian semua jadilah anak yang pintar dan berbakti pada
orang tua ya,” ucap Bik Yati yang dijemput Mas Ari, anak pertamanya. Aku dan
segenap kakakku dipeluk bergantian oleh Bik Yati. Lambaian tangan kami untuk
beliau disertai dengan sedu sedan.
Bik Yati kemudian tinggal bersama Mas Ari
yang memilih tinggal di kota tempat beliau dahulu berasal. Secara berkala Bik
Yati mengunjungi rumah anak-anaknya yang lain dan tinggal di sana selama sekian
waktu tertentu. Tampaknya sukacita nan sejati kembali dapat dirasakan perempuan
tersebut. Begitulah kesan yang kutangkap setiap kali Bik Yati datang ke rumah
kami. Beliau senantiasa antusias menceritakan anak cucunya dengan senyum tawa
dan mata berbinar-binar.
***
Setelah Bik Yati beranjak tua, keempat anak lelakinya
yang tersisa justru lebih dahulu dipanggil Ilahi. Mas Ari, anak pertama Bik
Yati semula menderita gangguan jantung dan bahkan sempat dirawat di sebuah
rumah sakit di Yogyakarta. Maka ketika ia sudah sembuh, sebelum kembali ke
kotanya, Bik Yati dan keluarga anak sulungnya sempat singgah di rumah kami. Aku
masih sangat mengingatnya lantaran waktu itu aku baru saja dikhitan. Kehadiran
banyak kerabatku membuat hatiku mendapat hiburan tersendiri. Namun kurang dari
sebulan sehabis itu, Mas Ari kembali mendapat serangan jantung dan nyawanya tak
tertolong lagi.
Yang membuat Bik Yati semakin bersedih, anak
sulungnya tersebut ternyata memiliki istri simpanan yang tidak pernah diketahui
oleh ibunya sendiri, apalagi oleh istrinya yang sah. Bik Yati sangat memahami
betapa kecewanya sang menantu oleh ulah putranya. Beruntunglah istri almarhum
yang jelas begitu pedih hatinya tetap menerima Bik Yati tanpa catatan, bahkan
sudah menganggapnya persis seperti ibu kandungnya sendiri, bukan sekadar ibu
mertuanya.
Selang delapan tahun berikutnya giliran Mas
Endro, anak bungsu Bik Yati yang meninggal dunia. Sama halnya dengan kakak
tertuanya, ia pun terkena serangan jantung. Yang berbeda, sebelumnya tidak
banyak yang tahu bahwa Mas Endro memiliki masalah di jantungnya. Bik Yati
sendiri sangat terkejut dengan kenyataan yang ada, kendati paham bahwa ikhlas
menerimanya adalah pilihan sikap terbaiknya. Apalagi anak-anak Mas Endro masih
sangat kecil ketika ayahnya tiada. Bik Yati memutuskan menemani istri almarhum
dan kedua cucunya. Namun beliau masih menyempatkan diri mendatangi tempat
tinggal anaknya yang lain. Di antara semua anak Bik Yati, Mas Endro merupakan
sosok yang paling kukenal dekat lantaran dialah yang paling lama tinggal
bersama keluarga kami. Aku pun turut kehilangan sosoknya yang humoris dan
begitu menyenangkan setiap kami bercengkrama bersama.
Kira-kira lima tahun kemudian datanglah
cobaan lainnya. Mas Danang, anak keempat Bik Yati terkena stroke. Nyawanya masih dapat diselamatkan, namun sebagian tubuhnya
lumpuh. Istri Mas Danang meminta Bik Yati tinggal bersama mereka untuk
menemaninya merawat sang suami. Kebetulan Mas Danang dan keluarganya tinggal
jauh di Pekanbaru. Bik Yati menyanggupi hal itu dengan bergegas meninggalkan
pulau Jawa. Dengan sabar dan tegar beliau membantu meringankan beban putra
tercintanya yang hidupnya tak sama lagi dengan sebelumnya.
Bik Yati cukup lama berada di Pekanbaru dan
sempat hanya sekali setahun pulang ke Jawa menjenguk anak cucu lainnya. Kondisi
kesehatan Mas Danang sendiri berangsur membaik, biarpun tak bisa kembali
seperti sediakala. Bik Yati waktu itu belum lama berada di rumah Mas Danang
lagi, setelah anak keempatnya tersebut terkena stroke untuk ketiga kalinya. Beliau diminta untuk segera datang ke
Jakarta, tempat Mas Bayu, anak keduanya tinggal. Bik Yati sudah memiliki
firasat bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Ternyata Mas Bayu pergi untuk
selamanya secara mendadak ketika sedang berada di sebuah toko. Boleh dikata,
Mas Bayu merupakan putra Bik Yati yang paling sehat dan tidak memiliki riwayat
penyakit yang serius seperti saudara-saudaranya. Namun Tuhan berkenan untuk
kembali memberikan kejutan bagi Bik Yati. Setelah wafatnya Mas Bayu, Bik Yati
kembali berduka karena istri dan anak-anak almarhum lantas bagaikan
menghilangkan diri.
Mereka pindah dari rumah yang dulu sering
dikunjungi Bik Yati tanpa memberitahu siapa pun. Beliau hanya mampu berdoa
untuk kebaikan menantu dan cucunya dari Mas Bayu tanpa dapat menemui mereka
kembali hingga akhir hayatnya. Di tahun berikutnya, Mas Danang yang sudah
sekian lama invalid akhirnya kembali
kepada Yang Mahakuasa pula. Bik Yati pun menjadi ibu seorang diri tanpa
memiliki anak-anak lagi. Tinggal ketiga menantu dan sejumlah cucunya yang setia
menemani masa tuanya.
Tak terbayang begitu berat cobaan-Nya untuk
seorang Bik Yati sesungguhnya, yang ternyata tetap tenang menjalani itu semua,
sampai ajalnya tiba pada sebuah senja. Aku yakin keikhlasan dan ketegarannya
yang luar biasa tidak akan percuma di hadapan Ilahi. Demikian pula segala sikap
dan tingkah lakunya yang selalu bersahaja pun akan menjadi sesuatu yang layak
dikenang olehku maupun segenap orang yang sempat mengenalnya.
#Cerpen ini pernah dimuat di Jurnal Nasional edisi 2 September 2012.
Selasa, 27 September 2016
Arah Angin
Kita tidak bisa mengubah arah angin. Tetapi kita bisa menyesuaikan layar-layar kita supaya sampai ke tujuan. (Paulo Coelho)
Sabtu, 24 September 2016
Harapan dan Kekecewaan
Ketika sejumlah harapan tak kunjung kesampaian, layaklah jika hadir kekecewaan. Namun pada lain kesempatan, Tuhan justru kerap memberikan anugerah dan rezeki tak terduga yang lebih bermakna, bahkan jauh melebihi asa kita.
Sabtu, 17 September 2016
Debu Hanya Tanda Angin
Debu hanya tanda adanya angin :
angin itulah yang bernilai...
Mata tanah-liat hanya menatap debu;
melihat angin perlu mata yang lain.
(Jalaluddin Rumi)
angin itulah yang bernilai...
Mata tanah-liat hanya menatap debu;
melihat angin perlu mata yang lain.
(Jalaluddin Rumi)
Kamis, 15 September 2016
Musim Semi
Kata orang, musim semi adalah seperti anak perempuan yang sedang naik dewasa. Manja, gampang merajuk, dan sebentar-sebentar berganti sikap.
(Umar Kayam dalam cerpen "Kimono Biru buat Istri")
(Umar Kayam dalam cerpen "Kimono Biru buat Istri")
Mencurigai
Mencurigai. Betapa tidak enaknya perbuatan ini. Bahkan terhadap orang yang patut dicurigai sekalipun. Mencurigai sepertinya mengungkit nilai-nilai negatif yang sebenarnya tertanam dalam pengalaman batin kita sendiri.
(Jujur Prananto dalam cerpen "Parmin")
Selasa, 13 September 2016
Balada Bintang yang Telah Padam
Cerpen Luhur Satya Pambudi (NUSANTARANEWS.CO, 10 September 2016)
Kiranya masih
ada tugas yang mesti kutunaikan, sebelum mataku terpejam tak bisa dibuka lagi.
Warugaku memang tak sekukuh dahulu, namun mesti tetap kujaga semangat
berkaryaku di atas buana. Toh, masih sangat baik kinerja benakku. Masih mampu
pula kulangkahkan kaki ke mana saja kumau, asalkan tak terlampau jauh.
Entahlah, tak terlalu kupahami bagaimana warga di sekitar tempat tinggalku
akhirnya bisa mempercayai kata-kataku. Nyatanya, banyak yang datang sekadar bertanya, lalu kujawab sebatas yang
kumengerti. Seandainya ada di antara mereka yang tahu riwayat hidup diri ini
sejatinya, bisa jadi tiada yang sudi mendengarkan ujaranku. Bersukacitalah
aku lantaran mampu mengambil pelajaran dari sejarah hidupku dan terus-menerus
merevisi diri. Legalah jua aku karena tampaknya tak seorang pun di sini yang
tahu masa silamku yang pernah sangat cemerlang, namun juga sempat begitu pekat.
***
Silakan mereka
yang telah membenci akan semakin tak bersimpati terhadapku. Silakan jua mereka
yang menuduhku seakan lelaki pengecut yang tak bertanggung jawab. Mereka tentu
tak peduli perasaan sejumlah orang yang tak boleh lebih dalam lagi kulukai. Masih belum kutemukan formula yang tepat
demi memulihkan pedih hati mereka yang kusayangi dan menyayangiku, terutama
ayah ibuku beserta anak-anakku dari dua perempuan berbeda. Mesti kurelakan diri
memperoleh stigma dari publik sebagai sosok hitam yang tak layak menjadi tokoh
anutan lagi, bahkan tak pantas pula diampuni. Seolah tiada yang berarti dari
sosok putih bersihku selama ini.
Sekejab, diri ini mengenang masa keterpurukan
sekitar tiga puluh tahun berselang. Sama sekali tak kuduga, lelikuan jalan yang kulewati bakal serupa itu. Pernah aku begitu yakin bahwa tiada yang
salah dengan segala polahku. Coba, apakah yang tak tepat dari dua sejoli yang
tengah saling mengungkapkan cintanya nan suci? Jika kalian tahu ada lebih dari
satu perempuan yang bersamaku, aku percaya mereka sudi menyerahkan dirinya
lantaran jatuh hati kepadaku. Memang sungguh maut rayuanku waktu itu. Tentu
kucintai mereka pula di saat berbeda, kemudian selalu berhasil kubuat mereka
melayang serasa bidadari paling bahagia di surga. Kesalahan terbesarku,
barangkali lantaran aku tinggal di sebuah negeri yang orang-orangnya -kendati
tak semua- percaya masih adanya norma dalam setiap hubungan cinta sepasang
kekasih. Padahal yang signifikan bagiku, cinta itu urusan personal
masing-masing pemilik hati, dan selama ada cinta, terserah mereka mau
mengerjakan apa. Tak sudilah aku mesti dibatasi segenap aturan dari masa silam
yang hanya membelenggu langkahku, yang selalu ingin bebas menjelajahi eloknya
dunia dan kaum hawa. Memang pernah terpaksa kuturuti apa kata mereka yang taat
norma, namun aku berontak hingga dapat melepaskan diri dari segala yang
mengekangku. Kiranya terlalu nikmat diri ini berlarian kesana kemari, terlena
lantaran selalu nyaman terasa, tak lagi memerhatikan jalan, hingga terantuk
batu, dan terjungkallah aku selanjutnya.
Kisahku telah menjadi pengetahuan publik
sepenuhnya, sepanjang mereka yang paling tidak bisa membaca koran, memirsa
televisi, atau menjelajahi dunia maya. Maka mesti kutanggung kesalahanku
sebagai lelaki yang telanjur terkenal di seluruh penjuru negeri. Andaikan diri
ini bukan bintang yang tengah terang bersinar, apa pun yang kujalani bersama
para bidadari pastilah tak akan mendapatkan perhatian sesiapa. Biarlah bintang
itu redup kini, tapi jika aku memang bintang sejati, suatu waktu kelak niscaya
bersinar lagi, kendati entah apakah mampu seterang dahulu kala.
***
Menjadi manusia yang laksana berselimut cahaya,
yang membuat pandangan orang-orang senantiasa tertuju kepadanya, pernah membuat
hatiku teramat bungah, hari-hariku sarat berkah, tapi telah menyesatkanku
sedemikian jauhnya tanpa kusadari. Begitu sakit terasa jiwa raga setelah
terpuruk jatuh, sementara sinar yang semula seolah melingkupi diri ini lambat
laun meredup sampai padam. Menjadi bintang, kiranya tak bakal kupilih jalan
untuk meraihnya kembali. Biarlah hal itu menjadi salah satu lembaran biasa
dalam biografiku belaka pada saatnya nanti.
Sama sekali tak kupahami bahwa secara sadar telah
kupilih jalan menuju kehancuran, ketika membiarkan diri ini dikuasai nafsu
birahi seutuhnya. Padahal ternyata hal itu tak dapat dipadamkan dengan melampiaskannya,
bahkan justru bagaikan mematikan nyala api dengan menyiramkan minyak. Naif
sekali tak kupahami hal sesederhana itu. Maka menjadi lelaki bersahaja, itulah
yang akan kupilih kiranya waktu masih memberiku kesempatan melangkah di jalan
baru.
Bagaimana aku bisa berada di sini, di tempat yang
semua orang mengenalku sebagai lelaki tua bijaksana, sementara tiada yang tahu
masa mudaku, yang pernah menjadi bintang kejora dan kemudian lenyap dari
peredaran alam semesta? Panjang nian cerita sesungguhnya, tapi akan kusingkat
saja supaya kalian tak jenuh menyimaknya. Jadi, sehabis sekian tahun kulewatkan
masa hukuman, aku menjauhkan diri dari publik yang pernah sangat mengenalku,
yang pernah mengangkat sekaligus menjatuhkan derajatku. Ayah ibuku telah tiada
manakala diri ini tinggal di balik jeruji besi. Hanya dalam hitungan bulan,
mereka pergi selamanya laksana berjalan beriringan belaka. Belum berhasil
kusembuhkan hati mereka yang kadung remuk redam berkat ulahku. Dan benarlah
adanya, sesal kemudian memang sia-sia semata.
Aku percaya, setiap pendosa memiliki masa depan,
sebagaimana halnya setiap orang suci pun mempunyai masa lalu, yang bisa jadi
sangat pekat. Maka secara mantap kuputuskan pergi dari negeri yang telah
memberiku segalanya dengan membawa bekal secukupnya, supaya aku mampu melangkah
sejauh mungkin. Anak-anakku tercinta, kubiarkan mereka tinggal bersama ibunya
masing-masing, yang sanggup menjadi orangtua terbaik bagi mereka. Aku sadar
sepenuhnya bukanlah ayah yang patut diteladani. Kekasihku yang pernah sangat
setia ternyata memilih menjauhkan diri dari hal ihwal duniawi. Sudah tentu tak
akan kuusik hidupnya kembali, kendati dialah bidadariku nan sejati ketika kami
bersama dalam kurun waktu berlalu. Kurelakan saja anugerah terindah yang pernah
kumiliki itu lenyap dari hidupku.
Benar-benar diri ini akhirnya menjelajahi buana,
tapi sebatas menikmati indahnya dari sudut berbeda. Dahulu kala sudah pernah
kureguk segala wujud kenikmatan duniawi dan tak sudi diri ini kembali tergoda.
Manusia yang terlalu banyak memiliki segala hal kerap tak dapat menghargai
-bahkan sekadar menyadari- apa yang dimilikinya. Tetap terus kuayunkan langkah
dari masa ke masa, hanya demi menemukan jiwa yang tenang dan hati nan tenteram,
dua hal yang sejatinya senantiasa bersemayam dalam diri. Hingga akhirnya di
sebuah desa terpencil yang letaknya begitu jauh dari tanah kelahiranku,
kuputuskan mengakhiri ekspedisi dan tinggal menetap. Rasanya di sinilah baru
kujumpai apa yang selama ini kucari. Jika sedari dahulu kupahami bahwa segala
hal yang baik sesungguhnya berada di dalam hati, barangkali tak perlulah aku
pergi sedemikian jauhnya mengasingkan diri. Namun begitulah jalan takdir yang
mesti kutapaki. Yang jelas, sebagai pendatang yang belum mereka kenal
sebelumnya, aku cukup diterima warga setempat tanpa buruk prasangka. Sebagai
pribadi yang tengah mewujudkan sebuah identitas anyar, agaknya tepat sekali
tempat ini bagiku. Kulakukan hal-hal baru dalam hidupku dan ternyata justru
mampu kunikmati, menjadi lelaki bersahaja sejati.
Tanpa terasa dua puluh tahun lebih aku berada di
desa nan permai dengan keramahtamahan tetangga yang seolah telah menjelma
menjadi keluargaku, kendati sebenarnya sendiri belaka kutinggali sebuah gubuk.
Mereka menyayangiku apa adanya dan kusayangi mereka pula setulusnya. Perjalanan
hidupku yang panjang dan sarat lelikuan menjadikan sikap maupun kata-kataku
bisa dipercaya mengandung nilai kebaikan dan kebenaran bagi mereka. Barangkali
lantaran akal sehat serta hati nurani sudah menjadi pembimbing hidupku, bukannya
nafsu belaka seperti tempo hari. Ah, Yang Maha Penyayang begitu apik bersikap
terhadapku. Terima kasihku kepada-Nya sungguh tiada tara.
***
Senin, 05 September 2016
Hidup dan Mati Orang Baik
Hidup dan mati sebagai orang baik. Hal yang amat bersahaja sejatinya, namun bisa jadi tak semudah kata untuk mengejawantahkannya.
(dikutip dari cerpen "Mengikuti Jejak Sang Paman")
(dikutip dari cerpen "Mengikuti Jejak Sang Paman")
Langganan:
Postingan (Atom)