Beberapa
hari menjelang pergantian tahun, tepatnya pada Rabu, 28 Desember
2011, ada sebuah pertunjukan seni yang tidak biasa tersaji
di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Sebuah komunitas seni yang
terdiri dari teman-teman kita yang tunarungu, yang bernama Deaf Art
Community (DAC), memperingati hari jadinya yang ke-7 sekaligus
membuat pementasan bertajuk ”Aku Ingin Menjadi Kupu-Kupu”.
Menurut Broto Wijayanto –pendiri sekaligus pengasuh DAC- yang malam
itu bertindak sebagai pembawa acara, pementasan tersebut dapat
berlangsung atas kebaikan hati seseorang yang kaya raya, sehingga
penonton tidak dipungut bayaran sepeser pun.
Ada
beberapa hal yang tidak biasa mesti dilakukan oleh penonton malam
itu. Jika kami bermaksud memberi apresiasi kepada teman-teman di atas
panggung, kami tidak bertepuk tangan, tapi melambaikan kedua tangan
yang diangkat ke atas. Jika kami menyukainya, kami bisa mengacungkan
salam tiga jari (dikenal dengan sebutan ’salam metal’) yang
sesungguhnya bermakna ’I love you’. Maka berkali-kali kami
melambaikan tangan kami melihat penampilan mereka yang menari,
menyampaikan puisi visual, sulap, dan pantomim. Semula saya tidak
bisa membayangkan musik apa yang akan mengiringi penampilan mereka.
Ternyata di sebelah kanan depan panggung terdapat sekelompok pemuda
yang tergabung dalam kelompok ’Indonesian Beatbox Jogja’ alias
BEJO, yang menampilkan musik yang dikeluarkan dari mulut. Mereka
adalah musisi pengiring pentas malam itu.
Melihat
teman-teman yang tuli tampil di atas pentas menimbulkan kekaguman
tersendiri bagi kami. Terutama ketika mereka menari hip-hop dengan
suasana amat nikmat dan mengasyikkan, padahal mereka sama sekali
tidak mendengar suara musik apa pun! Ternyata meski mereka tidak dapat mendengar suara di luar mereka, namun mereka tetap mampu mengikuti irama dari detak jantung mereka sendiri. Apa yang disampaikan oleh dua
ibu dosen seni sehabis pementasan cukup mewakili apa yang dirasakan
oleh penonton. Semoga DAC akan terus berkarya dan semakin kreatif di
masa mendatang.
Seusai
menyimak aksi teman-teman DAC membuat saya lebih bersyukur atas
segala karunia Ilahi, baik yang saya miliki maupun yang tidak saya
punyai. Mereka yang tuli -sekaligus tak bisa bicara dengan suara
mereka- saja sanggup menikmati hidup, tampil dengan sangat percaya
diri, dan jelas sekali mereka adalah orang-orang yang sangat
bersyukur. Benar kata Mas Broto bahwa mereka merupakan guru yang baik
karena kita –yang merasa normal dan sempurna- ternyata justru bisa
belajar banyak dari mereka bagaimana sebaiknya menyikapi hidup ini.
Foto : http://cekitdotfree.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar