Rabu, 14 Desember 2016

Operet AFC 2016

Rabu dua pekan silam, 30 November 2016, Art for Children (AFC) Taman Budaya Yogyakarta menggelar operet anak "Indonesia Pintar" yang sekaligus menjadi penutup acara Gelar Seni Anak 2016. Setelah pameran seni rupa (17-24/10), maka operet merupakan hasil kerja sama anak-anak musik, vokal, tari, dan teater. Untuk pertama kalinya anak-anak musik mengiringi secara langsung teman-temannya menyanyi, menari, dan berlakon dalam sebuah pementasan. Seluruh aransemen musik digarap oleh Dwipa Hanggana Prabawa, yang uga bertindak sebagai dirigen orkestra. Sementara hampir semua lagu diciptakan oleh R. Sigit Eko Riyanto, pengasuh vokal AFC. Lagu-lagu karya beliau, yaitu : Selamat Pagi Negeriku, Ayo Mandi, Ke Sekolah, Hari Esokmu, Bermain, dan Ayo Belajar. Satu lagu karya Melly Goeslaw adalah Terima Kasih Guruku dan Jingle AFC sebagai lagu penutup adalah karya Dwipa Hanggana Prabawa dan Dewi Kurniawati. Penata tari oleh Theresia Wulandari, Anastasia Yayuk, dan Utik Wisni. Operet disutradarai oleh Broto Wijayanto. Pertunjukan dihadiri oleh Kepala TBY dan seluruh pengajar AFC -termasuk saya- berkesempatan berfoto bersama beliau di akhir acara.

Di bawah ini sejumlah foto yang dijepret lewat kamera ponsel dari beberapa orang yang sebelumnya tersebar lewat aplikasi WhatsApp.











Senin, 12 Desember 2016

Insan Utama

Engkau mengenalnyaInsan yang utama (Siapakah kiranya?)Lelaki pilihanMenjadi utusanIa menunjukkanJalan kebenaran (Muhammad kukira)
Baik hatinya (Baik hatinya)Santun perangainya (Sungguh santun perangainya)Jujur katanya (Tak pernah dusta)Kita menyayangnya (Bersholawatlah baginya)Ia teladan bagi kita semua (Ialah teladan kita)Sebagai karunia yang diberikan Allah bagi semuaMuhammad nama-NyaIkuti jalan-NyaLa la la...
Lagu dinyanyikan oleh Haddad Alwi dan Duta S07Lirik lagu ditulis oleh Ags. Arya Dipayana

Senin, 05 Desember 2016

Rumah Percikan Api Neraka

Cerpen Luhur Satya Pambudi dimuat di Tribun Jabar 4 Desember 2016
APAKAH mungkin rumah itu sebenarnya mengandung percikan api neraka? Dahulu, penghuninya yang merupakan sepasang suami-istri kerap terdengar berselisih paham. Bukan hal asing bagi tetangga terdekat menyimak perdebatan para penghuni rumah yang tak jarang dihiasi dengan caci maki dan saling hina.
Musabab perselisihan adalah hal-hal sederhana yang biasa terjadi dalam rumah tangga sesiapa, tapi suara keras mereka berdua nyatanya menimbulkan kehebohan tersendiri. Seberapa risih dan tidak nyamannya perasaan tetangga sejatinya, namun tiada seorang pun yang bersedia menjadi penengah atau juru damai. Terdapat keengganan yang sewajarnya mengingat sepasang suami-istri tersebut sudah lanjut usia. Lagi pula, keributan mereka biasanya tidak berlangsung lama, mungkin jika dijumlahkan sekitar satu-dua jam belaka saban harinya. Sesekali sunyi menghampiri ketika sang suami seharian pergi atau manakala para penghuninya tengah terlelap di waktu malam.
Riuh rendah yang berasal dari rumah itu lambat laun menjadi bagian keseharian di kompleks perumahan tersebut. Apalagi baik sang suami maupun sang istri, pada dasarnya masing-masing memiliki hubungan yang relatif karib dengan tetangga sekitar. Anehnya, tidak demikian tatkala mereka berdua belaka di dalam rumah sendiri. Entah cinta serupa apakah yang mampu menjadikan keduanya betah hidup bersama, bahkan hingga puluhan tahun kemudian.
Sang suami jatuh sakit pada suatu masa dan sempat diopname sekitar sepekan lamanya. Namun ketika ia pulang ke rumahnya, adu mulut dengan sang istri kembali membahana. Kondisi kesehatan sang suami lama-lama kian menurun dan ia tak ingin lagi beranjak dari rumahnya. Sehabis sempat terbaring tanpa daya di atas dipan untuk sekian pekan, sang suami pun tutup usia pada sebuah petang. Rumah itu pun sesaat sempat senyap. Tak terdengar lagi nada-nada emosional dari dua manusia lanjut usia. Tetapi hal itu tak berlangsung lama. Sang istri yang menjadi janda dan tinggal seorang diri kerap terdengar marah-marah tak jelas, entah tertuju kepada siapa. Ketika perempuan tua itu sedang santai dan tetangga bertanya kepadanya, ia menjawab bahwa ada suara seseorang yang selalu membuatnya naik pitam. Suara itu, katanya, berasal dari sudut selatan sebelah atas kamar tidurnya. Pada kenyataannya, tiada seorang pun yang tinggal di rumah itu kecuali perempuan tua yang kian lemah kondisi raganya.
Hidup sebatang kara tanpa teman dan kerabat mengundang rasa iba dari tetangga sekitar. Ketua RT setempat mengajak warganya bergotong royong membantu merawat sang nenek. Saban pertemuan rutin warga diadakan, senantiasa disediakan kotak amal yang hasil urunannya dikhususkan untuk menjaga kelangsungan hidup seseorang yang tak punya sesiapa itu. Tiada warga yang keberatan dengan kebijakan tersebut. Bahkan ada seorang warga yang bersedia melayani keseharian perempuan tua itu saban harinya dan ia memperoleh imbalan sekadarnya. Ia pula yang menyediakan makanan dan membelikan keperluan lainnya dengan biaya hasil urunan warga atau jika kebetulan ada bantuan dari para dermawan. Tetangga lainnya sering pula membagi masakannya sebagai sarapan atau makan siang sang nenek.
Sempat sekali waktu terjadi kehebohan ketika perempuan tua itu keluar dari rumahnya dan mendesak masuk ke salah satu rumah tetangganya sembari menggumamkan hal yang tak jelas.
"Saya harus ambil durian di dalam rumah itu. Durian itu milik saya!" teriaknya.
Pemilik rumah yang digedor-gedor pintunya tentu saja panik di dalam rumahnya. Ia hanya bersama anak bungsu perempuannya, sementara suami dan anak sulungnya sedang pergi. Beruntunglah, tetangga lainnya yang mendengar kehebohan tersebut berbondong-bondong segera datang. Seorang warga yang terampil berbicara berhasil meredakan kemarahan sang nenek dan membawanya kembali ke rumahnya dengan tenang.
Sampai kira-kira tiga tahun kemudian, perempuan tua itu menutup mata selamanya pada suatu malam. Siang menjelang kepergiannya sudah terdapat sejumlah pertanda tertentu sehingga Ketua RT meminta warga untuk bersiap siaga. Mereka menjadi yang paling sibuk mengurus jenazahnya hingga dikebumikan, kendati ada sebuah lembaga sosial yang lantas turun tangan membantu prosesnya.
***
RUMAH itu kemudian hampa belaka. Ketua RT mencoba menghubungi kakak sang nenek yang konon pemilik asli rumah itu. Upayanya tak berbuah positif. Ketimbang dibiarkan kosong tanpa guna, Ketua RT, atas persetujuan warganya, memutuskan menyewakan rumah itu kepada siapa pun yang bersedia tinggal di situ. Uang hasil sewa disepakati akan dimasukkan ke kas warga RT. Awalnya tiada masalah berarti, kendati ada satu tetangga terdekat yang sempat keberatan. Namun sesudah hampir dua tahun berselang, sebuah lembaga sosial, yang dahulu ikut mengurus pemakaman sang nenek, tiba-tiba datang melaporkan diri kepada Ketua RT. Mereka mengaku telah mendapat hak dari pemilik rumah sesungguhnya, yang tinggal di lain kota, untuk menempati rumah yang sedang disewakan itu. Ketua RT tentu tidak bisa serta-merta menerimanya.
"Memang ke mana saja selama ini, orang yang mengaku sebagai pemilik sah rumah itu? Di mana dia ketika adik iparnya sakit keras hingga meninggal dunia? Apakah ada yang dilakukannya ketika adik kandungnya menjadi janda, hidup menderita sebatang kara, lalu akhirnya padam nyawa tanpa sanak saudara?"
"Kami siap membayar jasa baik warga di sini, meski sebenarnya kami tak wajib melakukan hal itu," ujar wakil lembaga sosial tersebut.
"Kalian mau bayar berapa? Selama ini kami ikhlas merawat beliau hingga wafatnya tempo hari. Berapa pun uang kalian tampaknya mustahil untuk membayar kebaikan hati warga di sini. Kami hanya tak rela dengan perlakuan buruk pemilik rumah itu terhadap mendiang tetangga kami."
"Jadi, apa yang harus kami lakukan? Tolong diingat, kami sudah membawa surat bukti yang sah dari pemilik rumah yang secara sukarela menyerahkan miliknya untuk kepentingan sosial. Apakah kami perlu membawa aparat keamanan kemari?"
"Silakan kalian menempati rumah itu, tapi maaf saja jika saya tidak bersedia membantu apa-apa."
Ketua RT memilih mengalah. Risikonya terlalu besar sekiranya ia tetap ngotot mempertahankan rumah itu. Tentu ia tak mau terjadi sesuatu yang mengusik ketenteraman dan kedamaian hidup yang selama ini terjaga senantiasa di lingkungan tempat tinggalnya.
Tetapi rumah itu tetap menyimpan api dalam sekam. Jika ungkapan terkenal berbunyi "rumahku adalah surgaku", maka tempat tersebut barangkali layak dijuluki "rumah percikan api neraka". Sudah sekian bulan berlalu, rumah itu nyatanya dibiarkan hampa belaka.
***

Kamis, 01 Desember 2016

Apa yang Perlu Diingat

Tak ada hal spesifik dari "apa yang perlu diingat". Saya percaya, ingatan, seperti makhluk hidup, memiliki hukum alamnya sendiri. Ingatan-ingatan tertentu cenderung akan bertahan lama, ingatan lain akan pudar dengan sendirinya. Tapi secara umum, hal-hal yang menarik perhatian kita cenderung bertahan lama, karena barangkali hal itu memang berarti banyak untuk kita. Merawat hal-hal yang menarik perhatian kita, mencoba memperluasnya, saya kira merupakan cara yang alamiah untuk membuat banyak hal tertanam dalam ingatan. (Eka Kurniawan)