Senin, 24 Mei 2010

Kekayaan Sejati Sebuah Negeri

Kekayaaan sejati sebuah negeri tidak terletak ada emas atau perak, tetapi dalam pengetahuan dan kearifan – yang tidak akan pernah mengkhianatimu. (Kahlil Gibran)

Rabu, 05 Mei 2010

Sekilas Tentang Pertunjukan Pendek di Gedung Sositet

Pada hari Kamis, tanggal 29 April 2010 silam, AFC (Art for Children) TBY menggelar pentas teater di gedung sositet Taman Budaya Yogyakarta. Pentas yang penontonnya tidak dipungut biaya malam itu merupakan presentasi dari dua pertunjukan pendek karya Ibed Surgana Yuga, yaitu : ’Perempuan Satu-satunya di Semesta’ dan ’Mommy, I Don’t Want to Go to School!’

Perempuan Satu-satunya di Semesta

Lakon pertama yang dibawakan oleh dua aktor dan seorang aktris (Andika, Iman, dan Eka) menyajikan eksploitasi gerakan yang dilatarbelakangi kemampuan para pemainnya untuk menari, berpencak silat, maupun melakukan butoh (seni gerak dari Jepang). Masing-masing pemain juga sempat bermonolog dengan gaya berlainan di sela-sela pergerakan tubuh mereka yang sangat menguras tenaga. Kedua aktor sempat memainkan tongkat bambu yang perlu keterampilan tersendiri pula. Seorang pemain rebab (Pak Suyoto) dan seorang pemain belia (Arin) tampil sekejab sebagai figuran untuk memberi nuansa lakon berkonsep minimalis itu. Suara rebab mengisi sejumlah bagian menjadi ilustrasi musiknya.

Mommy, I Don’t Want to Go to School

Lakon kedua dimainkan oleh enam remaja putri yang masih duduk di bangku SMP dan SMA. Mereka adalah Dila, Puput, Yanni, Chandra, Manda, dan Arin. Adegan diawali dengan curhat menjelang tidur dengan suasana panggung gelap hanya berteman korek api yang dibawa oleh masing-masing pemain. Apa yang mereka katakan menggambarkan keresahan, kejenuhan, dan ketidaknyamanan para pelajar menjalani masa sekolah mereka, terutama menghadapi ’monster’ ujian nasional. Setiap bicara mereka selalu diawali dengan memanggil nama ’mommy’. Setelah tidur yang tenang damai -dengan sesekali menggeliat- diiringi suara piano, anak-anak bangun dengan panik dan gaduh diiringi suara gedubrakan dari kibor yang kumainkan. Adegan selanjutnya adalah ketakutan mereka sebelum berangkat sekolah. Untuk mandi pun mereka terpaksa dimandikan oleh ibu masing-masing dan khayalan menjadi artis yang tampil di atas pentas menjadi akhir bagian tersebut. Adegan selanjutnya menggambarkan suasana belajar di dalam kelas. Para murid hanya manggut-manggut mengikuti apa kata ibu gurunya tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Saking besarnya tekanan dan tersiksanya perasaan, akhirnya murid-murid itu malah menembak sang guru. Mereka lantas menyesali perbuatannya dengan kembali meneriakkan kata ’mommy’ diiringi lagu sedih yang kubawakan dengan suara piano. Lakon kedua pun berakhir.

Selamat dan sukses bagi semua pendukung pertunjukan malam itu. Terima kasihku terutama bagi Bung Ibed yang memberi kepercayaan kepadaku dan Pak Sigit ER yang memberi arahan bagaimana memberi ilustrasi musik dalam lakon kedua. Semoga tak pernah lelah kita terus menghasilkan karya yang lebih apik di saat mendatang. Tak lupa jua, terima kasih bagi para penonton yang sudah hadir memberi apresiasi.

Pendidikan seharusnya memerdekakan murid, menumbuhkan keberagaman di berbagai bidang kemampuan melalui proses pemahaman akan kebudayaan dan kebangsaan.(Ki Hadjar Dewantara)

5 Mei 2010